Sunday, July 20, 2008



Be A Writer
Oleh Septina Ferniati


Aku suka membaca. Sewaktu masih kecil, ketika usiaku sekitar sepuluh tahunan, aku sudah membaca majalah langganan ibu, Femina. Dia selalu melarangku membaca Femina, karena menurutnya usiaku belum cocok membaca majalah dewasa. Di sela-sela jadwalnya yang padat mengurus anak, rumah tangga, dan usaha warung, ibu suka membaca. Dia mengajariku membaca sejak usiaku empat tahun. Karena itu di usia sepuluh, aku semakin penasaran dengan buku apa pun yang kutemukan di rumah. Ibu sampai kewalahan menyediakan bacaan. Dia juga kadang marah jika sulit melarangku membaca majalahnya. Ibu sering bilang, “Majalah ini bukan untuk anak-anak, ini khusus untuk ibu!” Jadi perlahan aku pun beralih membaca buku-buku yang tepat untuk usiaku. Kadang jika bosan membaca buku-buku yang sudah berkali-kali kubaca di rumah, aku pun meminta izin mampir ke rumah tetangga yang anaknya punya banyak buku dan ikut membaca di sana. Kadang aku diizinkan meminjam, jadi bisa kubaca di rumah. Tak terhitung banyaknya bacaan yang sudah kulahap sejak kecil.

Setelah usiaku tiga belas, baru aku diizinkan ibu membaca Femina. Yang paling kusukai ialah rubrik “Gado-Gado”, cerita pendek dan cerita bersambung. Tawaku meledak jika menemukan cerita lucu di Gado-gado. Air mataku deras mengalir saat membaca cerita cinta yang menyedihkan hati. Aku gemar mengoleksi cerita bersambung. Namun sebagian besar cerita yang kukumpulkan hilang setelah kupinjamkan pada kakak atau saudara. Mereka tak telaten merawatnya.

Beranjak besar aku pindah ke kota lain. Aku berpisah dengan keluarga. Tak satu pun kumpulan cerita dari majalah ibu yang kubawa, karena repot dan berat. Hanya barang-barang paling penting yang ikut. Sebenarnya sayang juga meninggalkannya, tapi aku yakin di kota baru itu dapat kumulai lagi mengumpulkannya, apalagi majalah itu relatif mudah ditemui. Beberapa cerita yang benar-benar bagus bahkan tersimpan rapi di dalam hati, teringat selamanya. Hanya kesan yang kuingat, karena judul, jalan cerita, dapat kutebak-tebak.

Selama menjalani proses sekolah menengah dan kuliah yang lama, aku benar-benar terkungkung dalam dunia yang tak terlalu kusukai. Setelah lulus dan bingung cari kerja, aku pun teringat kegemaranku menulis. Pertama-tema, aku ingin jadi guru, karena ingin mempersuasi orang agar cinta membaca. Namun ibu ingin aku bekerja di perusahaan bonafide, “Agar tak kekurangan,” katanya. Maka setelah melamar, ikut proses pelatihan di sebuah perusahaan baja ternama, dan ternyata gagal di tahap penentuan, ibu pun merelakanku kerja sesuai keinginan. Aku pun melamar jadi guru di sebuah madrasah dekat rumah. Gajinya lumayan kecil, namun aku rela menjalani, karena bukan semata-mata uang yang aku kejar. Aku ingin murid-murid yang kuajar suka baca. Jika proses membaca sudah lumayan dijalani dengan baik, aku berharap mereka jadi suka menulis. Biasanya begitu. Orang yang suka membaca biasanya jadi suka menulis, setidaknya menulis pemikirannya tentang apa yang sudah dia baca, lihat, atau alami.

Lima tahun aku mengajar di dua sekolah berbeda. Aku betah jadi guru. Pada dasarnya aku suka berbagi pengalaman membaca dan menulis pada siapapun. Jadi guru memudahkanku berbagi pada murid-murid. Karena sebagian besar muridku berasal dari kelas bawah, akulah yang menyediakan tempat dan buku untuk mereka. Kubuka rumahku sekian jam sehari untuk menerima kedatangan mereka. Kupinjami mereka buku. Beberapa buku raib, namun sebagian besar selalu kembali. Mereka pun sedikit demi sedikit mulai suka membaca. Beberapa di antaranya jadi suka menulis, dan sering meminta saranku dalam proses penulisan. Harapanku tak muluk; asal mereka bahagia dengan yang mereka lakukan, sudah besar artinya bagiku dan bagi mereka sendiri. Perlahan-lahan kusarankan mereka mengirim tulisan pada media. Meski tak satu pun dimuat, mereka tetap semangat dan terus menulis.

Karena kehamilan pertamaku rentan, aku berhenti mengajar di sekolah. Aku beralih menerjemahkan dan menulis. Menurutku, keduanya berhubungan. Kepiawaian menulis biasanya membuat seorang penerjemah lebih pintar membaca makna sebagaimana maksud penulis. Meski kadang lelah, semua terbayar begitu pekerjaan selesai. Hasilnya terasa memuaskan.

Setelah punya anak, aku tambah bersemangat menulis. Salah satunya karena ingin meringankan beban suami. Kupikir seorang istri harus bisa membantu suami menanggung biaya hidup rumah tangga, agar dia dapat menghargai jerih payah suami. Sebagai perempuan, aku suka mengalir. Aku menolak jadi beban orang lain. Aku menolak tertekan. Jika kulakukan yang kusukai, tak ada beban melakukannya. Ada kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri jika bekerja. Di hadapan anak-anak dan suami aku bisa membuktikan bahwa aku berdaya.

Aku kini menerjemahkan dan menulis. Buku yang kuterjemahkan sudah cukup banyak. Cerpen pertamaku, “Cinta Kedua”, dimuat Femina pertengahan 2003. Sebelumnya aku sudah sering menulis cerpen, namun belum ada satu pun yang dimuat. Aku sangat bahagia. Lalu bertahap esaiku mulai menghiasi berbagai media, antara lain Matabaca, Kompas, Pikiran Rakyat. Pengalaman itu membuat aku diajak bergabung jadi instruktur menulis cerpen sebuah klub menulis.

Aku kini ingin menerbitkan cerita dan esai yang jumlahnya sudah beberapa sebagai buku. Sementara menerjemahkan kuharap dapat terus jadi pekerjaanku. Aku suka membaca kehidupan dalam buku yang kuterjemahkan. Banyak pelajaran bisa kujadikan cermin. Dari situ pula aku dipercaya mengedit beberapa buku. Awalnya aku ragu bisa melakukannya. Namun dari kebiasaan membaca, menulis, dan menerjemahkan, aku pun jadi mudah mengedit dengan sendirinya. Femina dan buku-buku yang kubaca waktu kecil berpengaruh besar dalam proses kepenulisanku. Andai tak pernah baca Femina, barangkali takkan kudapati keasyikan menulis cerita sampai sekarang. Kusyukuri itu sebagai berkah.

Dari semua itu, aku dan suami sudah bisa memiliki sebuah rumah yang sebagian dirancang dengan kayu. Rumah kami ada di gang. Rumah itu kecil saja, namun di sana kami sering menerima teman, saudara ataupun tetangga yang ingin baca buku koleksi kami atau anak-anak. Beberapa orang sudah dapat dipercaya membaca buku untuk dibaca di rumah mereka, beberapa kadang membaca di tempat sampai selesai. Dari situ aku percaya kehidupanku punya berkah bagi orang lain. Aku ingin terus berbagi.[]

Septina Ferniati, penerjemah & penulis; baru-baru ini menjuarai sayembara penulisan Kisah (Kisah Inspirasi dan Harapan) 2007 dari Penerbit Erlangga-BodyShop.