Saturday, February 28, 2009



[Maryamah Karpov]
NOVEL YANG MEMENANGI SELERA MASSA

Oleh Anwar Holid

Kesuksesan tetralogi Laskar Pelangi menyempilkan istilah yang mengundang tanda tanya: cultural literary nonfiction. Seperti apakah itu?

DESEMBER 2008 lalu, ketika masih membawa-bawa Maryamah Karpov (Bentang, 504 hal.) ke mana pun pergi ingin segera menamatkannya, saya malah bertemu dengan orang yang malah belum selesai membaca Laskar Pelangi. Dia menenteng buku pertama tetralogi itu sambil menunggui anaknya yang latihan main perkusi bareng anak saya. Beberapa minggu sebelumnya, kami sempat membicarakan kehebohan cerita-cerita berlatar pendidikan di pulau terpencil itu.

"Ini baru sempat baca," katanya. "Kebetulan istri saya kemarin beli waktu jalan ke toko buku."

Saya lihat dia sudah lebih dari setengah membuka novel itu. Padahal saya beserta ratusan ribu pembaca lain sudah menamatkannya beberapa hari atau minggu setelah novel itu terbit pada 2005. Apa ada beda signifikan bila seseorang baru sempat membaca karya yang terbit beberapa tahun lalu? Mungkin tidak. Saya sendiri, karena sebuah keperluan, baru-baru ini membaca lagi Laskar Pelangi, dan dampaknya menurut saya berbeda ketika waktu dulu menamatkan untuk pertama kali. Ketika membaca dua atau tiga kali, kita jadi lebih dewasa, ada refleksi dan rujukan yang lebih kaya dari sebelumnya. Tapi, ada juga fakta yang harus saya sebut, bahwa sebagian orang ternyata tetap gagal membaca novel itu. Entah kenapa; mungkin butuh bahasan lebih lanjut.

Setelah melewatkan Sang Pemimpi dan Edensor, saya langsung loncat ke Maryamah Karpov. Beruntung, sebagian orang memberi tahu isi dan mengungkapkan kesan mereka terhadap volume kedua dan ketiga tersebut. Pukul rata, kebanyakan orang lebih terkesan pada Sang Pemimpi daripada Edensor. Bagi saya sendiri, Edensor cukup menyita perhatian karena masuk nominasi KLA 2007. Setidaknya ini membuktikan bahwa para juri memperhitungkan kekuatan sastra novel tersebut---sebab kalangan tertentu meragukan aspek tersebut bisa muncul di sana.

Ketika bicara tentang daya tarik tetralogi itu secara keseluruhan, tampaknya semua orang sependapat bahwa keunggulan kisah itu ialah pada keutuhan aspek fiksinya. Tetralogi itu lucu, romantis, dibumbui petualangan dan kisah fantastik, menjadikannya sangat inspirasional bagi pembaca fanatik, terasa dekat dengan kondisi pendidikan di Indoesia sehari-hari. Keutuhan aspek tersebut membuat tetralogi itu jadi seimbang. Dengan porsi masing-masing, semua muncul satu demi satu, silih berganti, sampai tanpa terasa ia menarik imajinasi pembaca ke sebuah kisah dan kejadian yang lengkap, mulai dari drama yang mengharu-biru, lantas disusul dengan humor, ironi, tragicomedy, juga pengharapan, optimisme, dan tentu saja petualangan-petualangan fantastik. Seorang fanatik Laskar Pelangi manapun bisa cerita kehebatan tetralogi itu lebih detail dan bersemangat daripada saya.

Struktur Laskar Pelangi dan Maryamah Karpov agak mirip sekaligus melingkar, yaitu kembali ke awal. Bila di buku pertama Laskar Pelangi terbentuk, di buku keempat Laskar Pelangi reuni. Di masa kecil, jagoan Laskar Pelangi yang paling disegani ialah Lintang dan Mahar; setelah dewasa kedua orang itu kembali muncul sebagai penyelamat Ikal. Pandu Ganesa, seorang fanatik karya-karya Karl May dengan menarik menilai karakter Lintang dan Mahar sebagai representasi otak kiri dan kanan--yang diharapkan supaya seimbang. "Ini dielaborasi dengan gegap-gempita oleh si penulis." Bedanya, bila di Laskar Pelangi Tuk Bayan Tula mengadali Mahar, kini sebaliknya. Mahar ganti mengerjai Tuk yang gagap teknologi. Petualangan di hutan dan laut kembali terjadi, dengan intensitas lebih serius.

Bila dulu sepuluh anak bermain, berkelana, melakukan banyak kegiatan, menjelajah wilayah-wilayah berbahaya, merambah hutan dan nekat menjadi penyelamat, kini setelah dewasa yang benar-benar mengemuka hanya bertiga. Ini konsekuensi logis dari perjalanan waktu dan peristiwa, sebab orang dewasa punya agenda dan prioritas masing-masing. Perjalanan menguatkan karakter sekaligus mengeraskan trauma seseorang.

Sengaja Mengundang Kontroversi?

Kenangan merupakan salah satu subjek paling penting dalam tetralogi ini. Namun, kali ini Ikal bukan mengenang masa kecilnya, melainkan ketika dia dewasa. Dia mengulang kenangan bersama ayah, mengenang A Ling yang susah-payah ia coba gapai dengan berbagai cara namun masih gagal, termasuk kenangan-kenangan bersama Laskar Pelangi sebelum akhirnya masing-masing menjalani nasibnya. Misal Mahar. Di buku pertama, sebelas tahun setelah mereka berpisah kala SMP, Mahar masih menjadi pendakwah Islam di kawasan terpencil di sekitar pulau Belitong. Tapi kini Mahar sudah sepenuhnya jadi dukun dan mengaktifkan lagi Societeit de Limpai, sebuah organisasi paranormal. Bila dulu Societeit menyewa perahu untuk mengarungi samudera, kini Ikal bikin sendiri!


Apa perubahan-perubahan itu mengurangi daya tarik novel tersebut? Bagi orang yang terlalu kritis dan berkeyakinan bahwa cerita itu terlalu fantastik untuk terjadi sebagai kenyataan, novel itu dinilai terlalu berlebihan. Rollo May, seorang tokoh kreativitas, menyebutkan bahwa imajinasi memungkinkan manusia menimbang-nimbang beragam kemungkinan, membuka kesempatan yang lebih luas lagi, termasuk di antaranya bisa menerima ambiguitas. Sejak awal, Laskar Pelangi memainkan-mainkan anggapan itu. Di satu sisi, karya itu tegas disebut sebagai novel; tapi di sisi lain banyak orang bersemangat mencari jejak-jejak kenyataannya, karena sebagian memang ada. Sedangkan penerbit menyebut itu sebagai "cultural literary nonfiction." Sengaja untuk menciptakan kontroversi?

Menarik kalau ada yang membahas unsur warisan budaya pada tetralogi itu. Boleh jadi di sinilah kritik Nurhady Sirimorok dalam Laskar Pemimpi (Insist Press, 191 hal.) memiliki arti penting. Buku itu menurut Puthut EA “berusaha membersihkan kacamata kita yang telah buram karena terlewat asyik menyimak pandangan yang homogen.”

Maryamah Karpov pun demikian. Banyak pembaca dengan mudah bisa menemukan kabut logika di sana; mereka telah mengungkapkannya di berbagai media dan kesempatan. Tapi satu hal, dan ini boleh jadi mengherankan, novel itu tetap diburu, dan kesan umum pembacanya tetap sama, bahwa kisahnya lucu, romantis, penuh petualangan, inspirasional, dan dekat dengan kehidupan para pembacanya.

Tetralogi Laskar Pelangi minimal membuktikan sesuatu dengan amat nyata, yaitu ia telah memenangi selera massa.[]

Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid

KONTAK: wartax@yahoo.com (022) 2037348 0857 215 111 93 Panorama II No. 26 B, Bandung 40141

Situs terkait: