Melawan PKI adalah bagian penting dari kreativitas
---Abdul Hadi W.M.
Akhir bulan September 1965, ketika baru sehari saya berada di Madura, pemberontakan PKI pun meletus. Cepat-cepat saya kembali ke Yogya, ingin melihat situasi lebih dekat. Lagi pula, melawan PKI adalah bagian penting dari kreativitas. Mengapa? Sejak dibantainya seniman-seniman kreatif, saya sudah muak pada PKI dengan Lekra-nya. Mereka ingin memaksakan ideologinya, juga di dalam kesusastraan, dan berusaha membunuh haluan-haluan lain dalam kesusastraan di luar realisme sosial dan romantisisme revolusioner mereka.
Saya sesalkan misalnya, pengarang-pengarang yang semula baik, kini justru menjadi algojo-algojo yang kesetanan setelah menjadi tokoh-tokoh teras Lekra atau dekat dengan Lekra, seperti Pramoedya Ananta Toer, Bakri Siregar, dan Sitor Situmorang. Mereka berpikir bahwa kebebasan mereka harus berarti hancurnya kebebasan pengarang lain di luar kelompok mereka. Dan tentang ini, terus terang saya akan melawannya terus, apalagi mereka tak pernah secara terbuka mengakui kesalahan mereka.
Betapa sedihnya misalnya, ketika Manifes Kebudayaan dilarang dan para pendukungnya diburu-buru tanpa belas kasihan. Begitu juga ketika mereka berdiri tanpa reserve di belakang pelarangan buku sastra secara besar-besaran setelah Manifes Kebudayaan dilarang. Demikian pula ketika Chairil Anwar dinyatakan penyair terlarang di Fakultas Sastra tempat saya kuliah, hanya beberapa waktu setelah Bakri Siregar mempropagandakan sastra revolusionernya, seraya mengganyang H.B. Jassin, Bur Rasuanto, dan lain-lain.
Dikutip dari Abdul Hadi W.M.: "Catatan-catatan Seorang Penyair", dalam Proses Kreatif II (Pamusuk Eneste, ed., Gramedia, 1984), hal. 185-186.
---Abdul Hadi W.M.
Akhir bulan September 1965, ketika baru sehari saya berada di Madura, pemberontakan PKI pun meletus. Cepat-cepat saya kembali ke Yogya, ingin melihat situasi lebih dekat. Lagi pula, melawan PKI adalah bagian penting dari kreativitas. Mengapa? Sejak dibantainya seniman-seniman kreatif, saya sudah muak pada PKI dengan Lekra-nya. Mereka ingin memaksakan ideologinya, juga di dalam kesusastraan, dan berusaha membunuh haluan-haluan lain dalam kesusastraan di luar realisme sosial dan romantisisme revolusioner mereka.
Saya sesalkan misalnya, pengarang-pengarang yang semula baik, kini justru menjadi algojo-algojo yang kesetanan setelah menjadi tokoh-tokoh teras Lekra atau dekat dengan Lekra, seperti Pramoedya Ananta Toer, Bakri Siregar, dan Sitor Situmorang. Mereka berpikir bahwa kebebasan mereka harus berarti hancurnya kebebasan pengarang lain di luar kelompok mereka. Dan tentang ini, terus terang saya akan melawannya terus, apalagi mereka tak pernah secara terbuka mengakui kesalahan mereka.
Betapa sedihnya misalnya, ketika Manifes Kebudayaan dilarang dan para pendukungnya diburu-buru tanpa belas kasihan. Begitu juga ketika mereka berdiri tanpa reserve di belakang pelarangan buku sastra secara besar-besaran setelah Manifes Kebudayaan dilarang. Demikian pula ketika Chairil Anwar dinyatakan penyair terlarang di Fakultas Sastra tempat saya kuliah, hanya beberapa waktu setelah Bakri Siregar mempropagandakan sastra revolusionernya, seraya mengganyang H.B. Jassin, Bur Rasuanto, dan lain-lain.
Dikutip dari Abdul Hadi W.M.: "Catatan-catatan Seorang Penyair", dalam Proses Kreatif II (Pamusuk Eneste, ed., Gramedia, 1984), hal. 185-186.
No comments:
Post a Comment