Monday, December 07, 2009


[BUKU INCARAN]

Menara Penopang Asa
--Anwar Holid

Negeri 5 Menara
Penulis: A. Fuadi
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2009
Tebal: xiii + 416 halaman
ISBN: 978-979-22-4861-6

    - Jadi Negeri 5 Menara itu kamu rekomendasikan enggak? tanya kawanku di hari Sabtu menjelang matahari ada puncak kepala.
    - Emm... aku rekomendasikan. Memang kenapa gitu? aku jadi agak bingung
    - Kok kamu belum bikin [BUKU INCARAN] untuk novel itu?
    - Ha ha ha... enggak ada di [BUKU INCARAN] bukan berarti buku itu enggak pantas direkomendasikan.
    - Soalnya aneh kamu sudah sering ngomongin buku itu, tapi resensinya enggak ada saja.
    - Banyak buku bagus yang aku kesulitan nulis resensinya. Aku ingin meresensi Negeri 5 Menara dan menghubungkannya dengan sastra pesantren, atau fiksi islam kontemporer.
    - Apa yang paling menarik dari Negeri 5 Menara?
    - Kalau kamu suka dengan harapan dan kerja keras untuk mewujudkan mimpi, tema pendidikan, kesetiakawanan, idealisme, motivasi untuk terus semangat, optimisme, hal-hal grandeur... kamu akan suka novel ini.
    - Wah, Laskar Pelangi banget dong!
    - Ha ha ha... kamu terlalu cepat menilai.
    - Terus kelemahannya apa?
    - Menurutku novel ini datar. Ia kayak kekurangan passion. Humornya biasa saja. Aku dan Herry Mardian sepakat soal ini. Dia bahkan sudah baca novel itu sejak masih berupa draft.
    - Apa maksud kamu dengan "kekurangan passion"?
    - Aku juga sulit menerangkannya. Kira-kira mungkin seperti ini: ia kurang dramatik. Ada kedalaman emosi yang belum tergali di sana. Cara bertuturnya biasa saja. Tidak ada sesuatu yang membuat aku betul-betul terkesan pada salah satu tokohnya.
    - Mungkin novel itu lebih mementingkan ide daripada drama.
    - Benar. Ide novel ini ialah bagaimana seseorang terbangkitkan untuk mewujudkan mimpi, mantap dengan pilihan itu. Sejak awal memang ambisius. Mulanya terpuruk, terus jadi semangat dan sukses. Tapi dalam novel, aku butuh drama dan kejadian kritis kenapa seseorang bisa bangkit dan mengalahkan salah anggapnya sendiri.
    - Memang novel ini cerita soal apa?
    - Cerita tentang sekelompok santri yang tinggal di satu pondok. Masing-masing punya kisah kenapa mereka sampai di sana. Salah seorang dari mereka tadinya menolak masuk pesantren, selain karena bercita-cita ingin jadi insinyur, ada kesan pesantren itu sekolah kelas dua. Dia maunya masuk SMU negeri. Tapi orang tuanya memaksa dia masuk pesantren. Akhirnya sekalian saja, dia milih pesantren yang amat jauh dari kampungya, di Jawa Timur. Dia tadinya dari Bukittinggi. Novel itu berisi pengalaman dan kesan selama mondok, seperti apa pendidikan di sana, dan dapat apa saja mereka.
    - Kok judulnya Negeri 5 Menara? Apa hubungannya?
    - Ayolah, kamu harus baca sendiri. Kamu harus beli novel itu, kataku sedikit ketus.

Aku memang campur aduk menilai Negeri 5 Menara. Aku sudah membicarakan novel ini kepada sejumlah orang, terutama kawan yang menurutku bakal tertarik dengan tema pendidikan dan persahabatan, juga kemungkinan visualisasi dari novel tersebut. Ternyata harapanku merana. Kawan-kawanku lebih suka cerita dengan tema biasa, sehari-hari, tapi mungkin efeknya "dalam banget." Untuk drama, pertanyaan utama mereka ialah "ceritanya apa?" Mungkin aku salah ketemu orang.

Poinnya ialah: Aku khawatir kehilangan respek pada novel ini, takut terlalu rewel pada kekurangannya, sampai lupa mencatat keberhasilan atau keunggulannya---padahal bisa jadi itu hanya masalah selera. Tapi beruntung sejumlah resensi berhasil melihat sisi positif novel ini, di antaranya tampak pada resensi di Kompas Minggu, 1 November 2009. Peresensi menyebut ini sebagai novel motivasional-pendidikan yang inspiratif.

Karena isi dan settingnya di pesantren, aku langsung memberi cap "sastra pesantren" untuk Negeri 5 Menara. Keunggulan soal sastra pesantren salah satunya ada pada karya Djamil Suherman (1924 - 1985) terutama kumpulan cerpen Umi Kulsum. Di sisi lain novel yang mendapat banyak sekali endorsement ini membetot lagi genre "fiksi Islam" ke bentuk tradisionalnya, yakni dengan secara ekstensif menggunakan istilah dan percakapan berbahasa Arab---sebenarnya ini wajar, sebab di pesantren semua orang wajib berbahasa Arab. Bahkan ruh semangat itu ada dalam adagium "Man Jadda Wajada" (siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil) yang memberi sengatan energi dan kehidupan bagi para tokohnya. Meski begitu isu pluralisme juga cukup menonjol tampil. Justru nuansa inilah yang membuat novel ini berhasil jadi terasa lebih universal, bisa dinikmati siapapun.

Begitu menamatkannya, dalam kepalaku tumbuh dugaan: ada apa di balik penerbitan novel ini? Rasanya ajaib GPU mau menerbitkan "fiksi Islam" yang tampak konservatif. Apa karena ambisius, merupakan trilogi, dan menebarkan sikap positivisme? Bisa dipicu dua alasan ini: (1) ingin menampilkan pesantren sebagai tempat unggul, menghalau citra pesantren sebagai sarang terorisme; (2) tema pendidikan sedang laris di pasar buku.

Citra pesantren kini memang terpuruk. Ia bukan cuma dituduh sebagai sarang pelatihan terorisme dan akar kekerasan sekelompok umat Islam berhaluan ekstrem, sistem pendidikan Indonesia pun menganaktirikannya. Asrori S. Karni, seorang wartawan, bahkan berani menyebut bahwa perlakuan pemerintah Indonesia terhadap sekolah berbasis agama boleh dibilang diskriminatif dan pilih kasih. Ini ironik. Ketika bangsa Indonesia kerap bangga tampak sebagai bangsa religius, keberpihakan pemerintah terhadap pendidikan agama justru amat rendah. Umat Islam pun sekarang posisinya terpojok. Pada Ramadhan 1430 H polisi Indonesia bahkan usul agar khutbah tarawih diawasi. Ini konyol sekali dibandingkan dengan sumbangsih umat Islam terhadap peradaban Indonesia. Rupanya polisi siap mencurigai bangsa sendiri. Paranoid.

Sekarang, lihatlah Pondok Madani, pesantren tempat kisah ini berlangsung. A. Fuadi membuka gerbang pesantren selebar mungkin, membeberkan isinya, dan mengisahkan kejadian di sana dengan jujur. Tak ada pelajaran mengokang senjata di sini, tak ada latihan keterampilan merakit bom, juga tak ada cuci otak tentang jihad dalam konotasi menghancurkan lawan atau intoleran terhadap keyakinan lain. Jihad di sini ialah "bersungguh-sungguh dalam berusaha," diajarkan kepada ribuan murid berusia remaja. Santrinya bukan hanya belajar agama secara sempit, melainkan dinamik dan hidup, langsung berhadap-hadapan dengan realitas sosial. Negeri 5 Menara niscaya berhasil mengembalikan citra ideal pesantren, apalagi mereka mengelolanya secara swasembada dan profesional. Mereka melatih semua orang di dalamnya menjadi pribadi yang kuat sekaligus berakal sehat dalam kehidupan sosial. Pondok Madani merupakan perwujudan sekolah asrama yang ideal dan mentereng, kurikulumnya pun lengkap. Sisi fisik, mental, dan religiositas anak didiknya diperhatikan secara seimbang. Pondok Madani persis memenuhi syarat sebagai pesantren ideal.

Meski faktanya pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam lanjutan setelah belajar informal di surau, sebagian orang ternyata masih menganggap pesantren itu misterius. Ini tergambar dari pernyataan Andy F. Noya, host acara Kick Andy dan pemimpin perusahaan media. Komentarnya: "Jarang ada novel yang bercerita tentang apa yang terjadi di balik sebuah pondok yang penuh teka-teki." Pernyataan ini terdengar absurd bagi seorang jurnalis senior yang pernah mewawancarai Aa Gym dan Gus Dur. Bukankah sudah begitu banyak alumnus pesantren yang terkemuka dan menonjol di negeri ini? Bukankah hampir semua kiayi haji yang terkemuka pasti sekalian mengelola pesantren? Bisa jadi kabut yang menutupi citra pesantren sekarang ialah gencarnya berita buruk dari berbagai media informasi. Keasingan ini diperkuat oleh catatan kaki novel ini, misalnya dengan merasa perlu menerangkan arti kata "ustad."

Hal mencolok lain dari novel ini ialah banyaknya salah eja, sampai mudah menimbulkan prasangka bahwa naskah ini tidak diproof reading. Kesalahan mulai dari nama orang, istilah, penggunaan huruf kapital dan tanda baca, bahkan kata-kata itu sendiri. Contoh: Goenawan Muhammad (mestinya Goenawan Mohamad), Amstrong (mestinya Armstrong), tasafuw (mestinya tasawuf---sulit memaklumi ejaan seperti ini lolos mengingat "tasafuw" tak berarti apa-apa), kota kata (mestinya kosakata), yg (masih berupa singkatan).

Menurut berita, sampai November 2009 Negeri 5 Menara sudah terjual lebih dari 15000 kopi. Ini merupakan bestseller nasional yang mengejutkan, sungguh luar biasa bagi seorang novelis pendatang baru. Para pembaca awal novel ini sangat potensial menjadi captive market sekuelnya: akan ada cerita apa pada keenam anggota Sahibul Menara ini? Mereka juga pantas berharap dan memberi saran agar jilid kedua dan ketiganya nanti hadir lebih hebat dan dalam.[]

Anwar Holid, alumnus pesantren kilat Ramadhan Daarut Tauhid, Bandung. Bekerja sebagai editor dan penulis, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Situs terkait:
http://negeri5menara.com

A. Fuadi ikutan Facebook dan ada halaman Negeri 5 Menara di sana. Berkawanlah dengan dia.

No comments: