Thursday, April 08, 2010


[RESENSI]

Perayaan Kecil Cerpen Indonesia
---Anwar Holid

BOB MARLEY dan 11 Cerpen Pilihan Sriti.com 0809
Penulis: Hasan Al Banna, et al.
Penerbit: GPU, 2009
Tebal: 152 halaman; ukuran:  13.5 x 20 cm
ISBN: 978-979-22-5215-6
Harga: Rp 35.000,-

Sriti.com merupakan situs berisi data base terbesar cerpen Indonesia. Muncul Agustus 2000, situs yang didirikan sejumlah mahasiswa IPB penggemar sastra ini konsisten tiap minggu mengupdate isinya. Maklum, cerpen merupakan salah satu produk paling banyak yang muncul di koran. Tiap minggu, semua koran memilih cerpen untuk pembaca mereka. Otomatis awak Sriti.com, atau atas inisiatif penulisnya, setiap minggu mendapat cerpen baru yang sudah layak terbit dan pantas dibaca. Terbayang, tentu kini mereka butuh ruang lebih besar lagi untuk menampung muatannya.

Sebagai "tempat pembuangan akhir" cerpen koran, salah satu kekuatan utama Sriti ialah justru kebebasan kepentingan kelompok---dalam hal ini kepentingan editor dan kebijakan media massa bersangkutan. Sriti nonsektarian, bisa menerima berbagai aliran dan bentuk, terlebih lagi cerpen itu telah berhasil memenuhi selera dan kriteria editor desk sastra. Sikap ini tecermin betul dari terpilihnya dua belas cerpen terbaik dalam periode 2008-2009 yang terkumpul dalam buku ini. Kita bisa dengan mudah merasakan perbedaan "Bob Marley" dengan buku sejenis, misalnya buku tahunan Cerpen Terbaik Kompas. Bagaimana awak Sriti menentukan pilihan dan menjelaskan seleranya?

De gustibus non est disputandum, begitu kata pepatah Latin. Soal selera itu mustahil diperdebatkan. Ia hanya bisa dibiarkan; diamini atau ditinggalkan. Di lihat dari sini, kita paham bahwa selera itu kadang-kadang ternyata harus mau kompromi dengan kepentingan pasar atau merupakan kemenangan selera mayoritas---berdasarkan hitungan statistik. Yang terjaring kriteria, itulah yang menang. Maka kita bisa mendapatkan berbagai subjek dalam buku ini, termasuk beragam cara bertutur dalam menulis cerpen.

Ada cerpen realistik, seperti Kematian Bob Marley (Hasan Al Banna), Guru Safedi (Farizal Sikumbang), Aku Bercerita dari Pesawat yang Sedang Terbang (Bamby Cahyadi), juga Induak Tubo (Zelfeni Wimra). Ada yang absurd, antara lain Malam Basilisk (Dinar Rahayu), beraroman realisme magis dengan nuansa gothik, misalnya Satu Kunang-kunang, Seribu Tikus (Intan Paramaditha) dan Malam Kunang-kunang (Rama Dira J.)

Apa yang bisa kita dapat dari buku ini? Pertama-tama ialah cerpen yang baik itu harus bisa memasung perhatian pembaca dari awal hingga akhir tanpa jeda, dalam sekali baca. Cerpen normal koran di Indonesia bisa jadi hanya butuh waktu antara 10-30 menit untuk membacanya, panjangnya rata-rata sekitar 12000 karakter. Kondisi ini memaksa penulis untuk berlatih agar bisa berkisah secara efektif, ekonomis, mengejutkan, dengan nalar tetap terjaga, dan kalau bisa setelahnya membangkitkan rasa penasaran pembaca. Contoh paling sederhana dalam buku ini ialah Cinta pada Sebuah Pagi (Eep Saefulloh Fatah). Kisah cerpen ini mudah ditebak, namun Eep berhasil menghadirkan "twist" (pelintiran) secara mulus. Sisanya pembaca akan bertanya-tanya: Apa Arnando seorang pemalas atau istrinya terlalu terobsesi oleh karir, hingga rumah tangga mereka malah diselingkuhi oleh pembantu yang bisa memanfaatkan kekosongan di antara mereka? Ironik. Begitu juga dengan absurditas: kalau mampu memadukan kenyataan dan ilusi dengan baik, sebuah cerita abdurd juga tetap enak dinikmati.
_____________________________________________________________________
Dua belas cerpen dalam buku ini:

1/ Kematian Bob Marley (Hasan Al Banna)
2/ Induak Tubo (Zelfeni Wimra)
3/ Kandang (Yanusa Nugroho)
4/ Cinta pada Sebuah Pagi (Eep Saefulloh Fatah)
5/ Satu Kunang-kunang, Seribu Tikus (Intan Paramaditha)
6/ Malam Basilisk (Dinar Rahayu)
7/ Guru Safedi (Farizal Sikumbang)
8/ Malam Kunang-kunang (Rama Dira J)
9/ Aku Bercerita dari Pesawat yang Sedang Terbang (Bamby Cahyadi)
10/ Tanah Lalu (Yetti A. KA)
11/ Kunti Tak Berhenti Berlari (Berto Tukan)
12/ Batubujang (Benny Arnas)
_____________________________________________________________________

Dari buku ini kita mendapat bukti bahwa koran terbitan nonibu kota pun bisa bersaing menghasilkan cerpen yang kuat. Karena pilihannya sangat banyak dan beragam, Sriti bisa mendapat karya dari Sabang sampai Merauke. Terpilihlah cerpen dari Singgalang Padang, Padang Ekspres, Suara Merdeka, Batam Pos, dan Jawa Pos---mendampingi cerpen dari koran yang sudah sangat kuat reputasi sastranya, seperti Kompas dan Koran Tempo. Di sinilah sikap nonsektarian Sriti patut dipuji dan menjadi penting nilainya. Karena bersedia menampung sumber dari mana saja, lahirnya buku ini berpotensi menginisiasi tradisi berharga sejenis buku tahunan The Best American Short Stories, yang menyeleksi cerpen karya penulis Amerika Serikat dan Kanada dari semua sumber penerbitan cerpen dalam setahun. Kalau proyek "Bob Marley" berhasil, ia jelas patut dilanjutkan, bahkan bila perlu dengan mengundang "badan" perbukuan agar mendapat meningkatkan kualitas dan masukan berharga.

Di proyek awal ini Akmal Nasery Basral dan Enda Nasution memberi masukan soal sastra elektronik (sastra Internet, cyber literature) berhadap-hadapan dengan sastra koran konvensional. Mereka berdua lebih ingin memperjelas sebenarnya sastra elektronik Indonesia itu seperti apa. Apa makna proyek Sriti.com ini pada konteks sastra Indonesia? Apa penerbitan antologi Bob Marley bisa masuk kategori sastra elektronik karena bahannya berkumpul di server tertentu? Atau malah benar-benar mengekalkan sastra koran, sebab awalnya merupakan bagian dari koran standar. Justru karya-karya yang berasal dari komunitas sastra di Internet diabaikan sama sekali.

Editing buku antologi ini kurang memuaskan. Di sana-sini salah eja dan inkonsistensi tanda baca terjadi berkali-kali. Kalau dilihat bahwa Sriti.com sudah menerima "bahan matang" karena awalnya sudah terbit dahulu dan diperiksa editor media bersangkutan, kesalahan ini mengecewakan, karena tak ada peningkatan kualitas setelah penerbitan pertama. Ini urusan elementer, tapi ini untuk ketiga kalinya saya menemukan buku keluaran GPU yang editingnya mengecewakan. Kita boleh bertanya, apa cerpen-cerpen ini sebenarnya mendapat sentuhan editing atau tidak? Salah satu yang juga ingin saya soroti ialah banyaknya penggunaan "tidak" untuk menyatakan negasi. Dalam hal ini, para penulis betul-betul ingin gampang. Mereka mudah sekali menggunakan "tidak" plus kata kerja, sifat, atau keterangan untuk menyatakan negasi alih-alih mencari diksi yang lebih kuat dan bertenaga. Tentu "tidak" bukan dilarang digunakan bila tepat penggunaannya, misal untuk menegaskan penolakan (sangkalan). Hanya saja penggunaan gampangan seperti itu memperlihatkan bahwa penulis malas mengeksplorasi kosakata. Contoh:
tak henti --> terus-menerus
tak terbelalak --> jadi apa? pandangan biasa, sayu, terpejam, atau tatapan kosong?
tak dikenal --> asing, aneh, ajaib
tak berketentuan --> kacau, sembarangan,
tak terelakkan --> pasti terjadi.
tidak tahan --> menyerah, ampun-ampunan, kalah

Sriti.com kini memasuki usia sepuluh tahun. Komunitas ini bisa diandalkan menjadi pembaca sekaligus pengawal cerpen yang hebat, sebab lingkaran pendukungnya juga bertambah luas. Di masa depan kita boleh berharap akan lahir produk pilihan seleksi yang lebih baik lagi dari sini.[]

ANWAR HOLID bekerja sebagai editor, penulis, publisis. Eksponen TEXTOUR, Rumah Buku, Bandung. Blogger @  http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Situs terkait:
http://www.sriti.com
http://www.gramedia.com

No comments: