Wednesday, April 11, 2007


>> Anwar Holid

Hasratmu dibatasi oleh kepemilikan
demikian tulis orang
Bahwasanya Dia yang memberi kekayaan dan kecukupan
begitu firman Tuhan

KEINGINAN luar biasa banyak dan sulit dibatasi membuat manusia senantiasa kekurangan, kekeringan dari rasa cukup; dan entah bagaimana cara memenuhi kekurangan itu agar cukup. Manusia memang tampak dikutuk oleh rasa kekurangan, dan seiring waktu, karena gagal belajar dari banyak hal, kesulitan mencari cara menutup perasaan itu agar suatu ketika terpuaskan.
Apa yang cukup buat manusia? Taruhlah manusia beragama; apa itu cukup? Tidak; dia harus memilih, yakin, atau bersiteguh dengan salah satu agama yang tersedia di dunia, kalau tidak dia harus 'menciptakan' agama baru---dengan risiko didakwa bidah atau murtad, dua hal yang sama-sama berbahaya. Bila telah memilih satu, ternyata masih banyak kekurangan. Dia disyaratkan taat beribadah, bukan sekadar 'yakin' meski bisa jadi keyakinan itu seteguh nyawa bertaut dengan tubuh. 'Keyakinan' bisa berarti nol bila seorang beragama tidak beribadah. Ketika sudah beribadah, dia harus khusyuk; tapi apa cukup khusyuk? Ternyata tidak. Dia juga harus sabar. Sayang, sekadar tambahan sabar juga masih jauh dari cukup. Manusia beragama juga mesti ramah, baik hati, rendah hati. Semua itu pun masih kurang. Dia harus toleran, hemat, memberi sumbangan, beramal, berbuat baik pada sesama---biasanya diprioritaskan bagi orang seagama, mudah berkorban bagi orang lain, melupakan pamrih, asketik. Orang yang sudah memenuhi kriteria di awal dituntut menambah kualifikasi. Bila sudah taat beribadah dia juga mesti baik pada orang miskin atau anak yatim.
Namun semua kualitas itu masih terlalu sederhana untuk bisa masuk dalam kategori beragama dengan baik; sebaliknya sangat banyak unsur lain yang mesti dipenuhi agar seseorang termasuk memuaskan dalam urusan beragama; dan bisa jadi kekurangan itu begitu luas sampai manusia sendiri kesulitan menentukan batas-batasnya. Karena aspek beragama sangat banyak, bentuk 'kekurangan' bisa sangat pelik.
Bila tidak, ketaatan itu langsung sia-sia. Tidakkah ini absurd? Kenapa tega membuat orang beragama taat beribadah jadi sia-sia hanya karena sebuah kualifikasi yang gagal dipenuhi? Tidakkah keunggulan aspek tertentu itu ada artinya? Ini membuktikan ternyata sedikit-banyak manusia itu punya sifat totaliter akut; dan akibatnya manusia diseret menjalani hidup yang rumit dan tanpa kompromi. Buktinya, bila ketika beribadah dia belang-betong (tidak konsisten, putus-putus), seketika kekurangan sebagai orang beragama langsung tampak mengemuka; dan orang lain akan mudah bisa bilang, 'Ah, dia hanya kadang-kadang saja beribadah, beragamanya masih goyah.'
Nyaris sama ceritanya bagi suami. Seorang pria yang jadi suami dituntut bukan hanya mencintai istri; tapi mesti bertanggung jawab pada kehidupan keluarga, memiliki mata pencaharian, mendapat penghasilan. Tapi 'memiliki mata pencaharian' adalah istilah rentan; bila suami bermata pencaharian sebagai calo misalnya, masihkah istri dia senang, bangga, atau malah memberenggut malu, termasuk berusaha menyembunyikan kenyataan itu? Bila mata pencaharian suami tukang jual agar-agar murahan di SD, tukang sol sepatu, tukang jagung rebus keliling, masihkah istri bisa tenang dan ikhlas menerima? Bila suami bekerja sebagai pembunuh bayaran, buruh angkut pasar, tukang beling, gigolo, atau bintang film porno, akankah istri dengan bangga mengenalkan dia pada tetangga dan orangtua? Akankah seorang istri bisa tersenyum ramah bilang terus terang pada temannya, 'Suami saya bromocorah lho; kalau ada perlu, suami saya bisa bantu kok...' Atau seorang ibu bilang pada temannya, ‘Anak saya preman pasar, kalau mbak perlu, bilang saya saja ya...’
Itu belum seberapa; mata pencaharian masih bernilai minus bila pendapatan yang bisa diperoleh sedikit. Katakan ada suami berprofesi sebagai bintang film, tapi ternyata honornya kecil, serba kekurangan, order main jarang sekali, dapat peran senantiasa kecil yang remeh, dan namanya tenggelam entah di balik buku telepon mana, akankah istrinya puas, keluarga baik-baik saja, tidak menuntut, atau sang suami sudah bisa cukup senang? Bila suami berprofesi sebagai editor, tapi digaji kecil, tidak dihargai, reputasinya buruk, jarang berhasil menemukan atau menciptakan buku sukses (baik bestseller maupun memperoleh penghargaan), terus jarang punya proyek di luar kantor, mesti utang ke sana-kemari, atau sering minta kasbon untuk memenuhi banyak kebutuhan; akankah istrinya tetap minta dia mempertahankan profesi sulit itu? Profesi tanpa penghasilan besar akan sia-sia, dianggap sebagai kekurangan. Seorang suami penulis tentu kesulitan bila buku yang dia tulis seret dijual, bahkan bila setelah diobral gila-gilaan sekalipun, sebab royalti bagiannya mustahil bisa diandalkan untuk menopang penghidupan istri dan keluarga. Meski profesi penulis dari sudut pandang tertentu membanggakan dan bisa dibangga-banggakan bila tepat waktunya, begitu tidak punya sumbangan signifikan pada ketenangan keluarga dan urusan rumah tangga, mungkin lebih baik profesi itu dikubur dan cepat-cepat suami pindah kerja, misalnya jadi pemecah batu. Tapi... apa cukup jadi tukang pecah batu?
Berpenghasilan pun ternyata masih kurang. Sekilas ini jelas dan mudah dimengerti. Apa artinya penghasilan bila terlalu mudah habis untuk kebutuhan sehari-hari sebulan, atau kebutuhan lain untuk maksud tertentu dan dalam jangka waktu panjang? Selama penghasilan seseorang masih kurang daripada kebutuhan belanja, sejauh itu pula orang dituntut mendapat lebih banyak. Karena penghasilan kecil tentu menyulitkan istri, anak, keluarga, atau diri sendiri.
Bila penghasilan ternyata masih terlalu sedikit buat biaya rutin, beli pulsa, bensin, makan bakso atau donat, baju, kosmetik, rokok, alkohol (bagi yang membolehkan), celana dalam, kondom, bayar biaya sekolah anak, oleh-oleh buat keluarga di luar kota, menyisihkan sedikit buat tetangga, uang jajan anak... apa artinya? Bagaimana menyiasati keinginan anak punya motor atau komputer bila penghasilan suami ternyata terlalu sedikit buat beli? Bagaimana menenangkan kegelisahan istri ingin beli kompor gas, oven, bila penghasilan sudah habis buat bayar rekening? Bagaimana seorang suami bisa beli rumah tunai bila uang yang dia dapat dalam sebulan ternyata sudah habis buat bensin?
Orang berpenghasilan kemudian dituntut mampu meraup dalam jumlah besar, setidak-tidaknya cukup untuk setiap kebutuhan yang muncul kapan saja; berkompromi dengan persoalan ini senantiasa alot, jadi nasihatnya ialah lebih baik dipenuhi. Orang berpenghasilan masih rentan oleh hinaan, predikat merendahkan, bahkan masuk kategori miring, misalnya miskin, termasuk kelas bawah, berekonomi pas-pasan. Bukan predikat itu yang persis bikin empet (sesak), tapi justru rasa malu orang menerima bahwa golongan seperti itu faktanya memang ada. Kalau memang ada, bukankah sebaiknya diterima saja? Kenapa juga harus dihapus? Bukankah itu berarti berpeluang mengayakan kemanusiaan?
Tegasnya, orang belum boleh puas bahkan ketika dia sudah punya pengghasilan atau pekerjaan; ada banyak kekurangan menanti dia di depan sana, demi memenuhi harapan sebagai manusia wajar. Kalau penghasilan kurang, terpaksa orang harus berutang, mengingat di dunia ini semua mesti bayar. Tapi berutang demi memenuhi kecukupan kebutuhan langsung dianggap buruk dan merupakan langkah tidak populer. Kalau tidak, orang itu mesti pintar-pintar cari tambahan, entah dengan order di luar atau lembur, atau meningkatkan karir agar digaji lebih banyak. Sampai sedemikian rupa, hingga orang merasa kekurangan tiada akhir.
Suami dengan profesi berpenghasilan besar masih pula punya kekurangan, misal apabila dia galak/keras pada istri, otoriter pada anak, sulit kompromi dengan tetangga atau pemerintah yang menyebalkan, menantang menolak bayar pajak atau menolak memberi suap, terlebih-lebih bila dia punya istri muda. Suami tipe seperti itu mudah sekali disalahpahami. Orang dengan senang akan bilang, 'Memang sih penghasilan dia besar dan mencukupi kebutuhan keluarga, tapi pada anak dan istri galaknya minta ampun; suami saya rasanya lebih baik dari dia.' (Padahal, suami dia penghasilannya jelas-jelas lebih rendah dari suami yang dijelek-jelekkan itu). Selain itu suami berpenghasilan besar dituntut berpenampilan menarik, tampak senantiasa sehat, ceria, luwes. Pakaian yang dikenakan suami juga mesti bersih dari cacat dan noda. Bila suatu ketika dia terlihat orang mengenakan baju dengan noda karat di saku atau sobek sedikit di bagian ketiak, orang akan mencela, 'Apa penghasilan dia masih kurang buat beli baju baru yang lebih bersih dan utuh?' Bila suami gembrot, perut bergelambir, buncit, atau sebentar-sebentar ngupil, tentu hal itu jadi sumber cacat. Istrinya bisa jadi jijik lihat suami berpenampilan seperti itu, meski uangnya melimpah ruah dan kebutuhan keluarga terpenuhi. Sampai ada cerita seorang istri bahkan suka mengejek, menghina, dan mual begitu tiba waktu bersanggama dengan suami berpenampilan seperti bandot tua itu. Aneh, kekayaan, kecukupan materi, rupanya nyaris tak punya pengaruh apa-apa pada kenikmatan dan kepuasan seksual. Jadi apa arti berpenghasilan memuaskan bagi istri, anak, dan keluarga?
Karena senantiasa kekurangan, wajar bila manusia jadi mudah sekali mengeluh, termasuk oleh hal-hal kecil dan insignifikan.
Apa baju bernoda karat akan mengurangi kualitas keunggulan suami yang berprofesi terhormat dengan penghasilan besar dan memperlakukan istri dan anaknya penuh cinta? Kalau tidak, kenapa juga baju berkarat itu harus dibuang atau disumbangkan buat korban bencana alam? Menimbang 'kekurangan' itu, betapa malang membayangkan nasib seorang suami berpenghasilan rendah, sering kekurangan uang buat memenuhi kebutuhan keluarga, terus tambahannya dia ternyata kurang sabar, kesulitan memperlakukan istri dengan baik, menyia-nyiakan anak, dan meninggalkan kewajiban keluarga. Kenapa 'tambahan' sifat buruk itu selalu ditolak sebagai 'kelebihan' watak orang? Bagaimana bila demi mendapat penghasilan besar itu ternyata orang jadi tega dan secara sadar melakukan korupsi atau jadi pelit menyisihkan uang untuk berbuat kebaikan? Manusia yang malang....
Ada banyak contoh bahwa penghasilan besar, kebaikan, keramahan suami, masih saja belum cukup untuk memenuhi standar kriteria memuaskan, misalnya bila dia kerja di luar kota (daerah) dan membuatnya jadi week end husband atau bahkan bisa lebih lama lagi, misalnya hanya berjumpa dengan istri dan anak sebulan, tiga bulan, setahun sekali. Ada banyak bukti suami yang meninggalkan rumah lama-lama demi mencari nafkah yang bisa memuaskan dan mencukupkan kebutuhan keluarga, akhirnya berdampak negatif bagi keluarga itu sendiri; entah membuat keutuhan rumahtangganya terancam, anaknya secara emosi dan mental jauh, mengantar keluarganya rawan retak, sementara dia dikhawatirkan terpikat perempuan lain di tempat menginap sehari-hari. Padahal dia terpaksa rela berjauh-jauhan dengan keluarga demi memenuhi kewajiban dan kecintaan keluarga. Istri yang terlalu sering pisah dengan suami, dan jaraknya lama, bisa-bisa akhirnya merasa 'melayani' orang asing atau bahkan jadi pelacur atau gundik---karena hanya rutin dikunjungi. Mungkin akhirnya dia memutuskan mencari alternatif selain suami. Anak yang terbiasa pisah dengan ayah akan jadi asing, akhirnya bilang pada teman bahwa ayahnya kurang peduli pada keluarga, lebih suka bila ayahnya lenyap---tapi bila uang jatah sangunya juga hilang, tentu dia keberatan dan kecewa. Akibatnya disarankan suami idealnya hidup sehari-hari dengan istri-anak di rumah, menghindari keterpisahan yang terlalu lama.
MENIMBANG ide bahwa manusia adalah bukti sempurna adanya penciptaan, gambaran terdekat ‘wajah’ Tuhan, aneh rasanya mengakui betapa manusia mudah sekali merasa kekurangan, entah kekurangan segala yang berunsur raga (jasad, tubuh) maupun jiwa; di lain pihak meski bisa jadi cara menenangkan/mendamaikan kekurangan kadang-kadang sederhana, orang kerap malas memilih atau bersikap, malah berusaha memenuhi dengan cara permukaan, absurd, dan justru inesensial. Karena jasad dan indra mudah merasa kekurangan, manusia mengira bisa sepenuhnya mengatasi kekurangan itu dengan belanja baju dan aksesoris, terus mempercantik atau memperindah diri di salon, membentuk tubuh dengan latihan atau obat-obatan, mengejar dan membela makanan ke mana-mana, atau mengoleksi banyak-banyak benda yang disangka bisa memuaskan kekurangan. Terus-menerus merasa kekurangan bisa membuat manusia terpicu menciptakan kemajuan; atau sebaliknya senantiasa didera oleh kekurangan dan haus keberhasilan. Namun, setelah segala kekurangan terasa bisa diatasi secara trivial (bernilai rendah), manusia segera kekurangan lagi. Sebab, sebagaimana kata Alain de Botton, ‘Kaya raya tidak menghapus keresahan jiwa atau mendatangkan kebahagiaan.’
Di dalam The Consolations of Philosophy (2001; terj. 2003), Alain de Botton mengidentifikasi enam kekurangan sehari-hari yang kerap dialami manusia, yaitu ketidakpopuleran, kekurangan uang, frustrasi, ketidakmemadaian, patah hati, dan kesulitan. Yang menarik dan membuat kekurangan itu jadi tampak luar biasa sekaligus dalam, dia berhasil membuktikan bahwa segala kekurangan yang dimiliki manusia ternyata persis bisa dijadikan sumber daaya mendapatkan kekuatan dan keunggulan kualitas manusia; sebagai motivasi. Tentu, karena dia mengambil kasus kekurangan yang mendera para filosof, semua derita itu bisa diselesaikan dengan mencari penghiburan dari alam filsafat---sebuah ide yang persis mengambil semangat De consolatione philosophiae (kira-kira 523) karya Anicius Manlius Severinus Boethius.
De Botton masing-masing mempelajari hidup dan pemikiran Socrates untuk menghadapi ketidakpopuleran; Epicurus untuk kekurangan uang; Seneca untuk menguraikan frustrasi, Montaigne terhadap segala macam ketidakmemadaian; Schopenhauer demi menjelaskan patah hati, sebab julukannya adalah ‘Sang Pesimis Agung’; dan Nietzsche untuk mendapat kejernihan tentang kesulitan. Keenam orang itu sengaja dia pilih dijadikan contoh par excellence betapa kekurangan, malapetaka, kelemahan, masalah, bukan halangan untuk mencari dan menemukan keunggulan sebagai manusia, bahkan dengan cara paling sederhana dan naif---misalnya dilakukan Diogenes dari Sinope, yang dengan sadar memilih hidup liar sebagaimana anjing. Studi de Botton akan membuktikan bahwa manusia pada dasarnya memang rapuh terhadap kekurangan, dan hanya dengan ‘keras kepala’ saja manusia mendapat kebahagiaan ataupun mampu mengatasi kekurangan dan berharap memperoleh hakikat hidup atas kehadirannya di dunia; ujung-ujungnya jadi bijak.
Hidup bijak biasa dikaitkan dengan usaha mengurangi penderitaan: kecemasan, kesedihan, kemarahan, penghinaan diri, dan sakit hati---semua itu merupakan bentuk ‘kekurangan’ jiwa. Orang biasa dianggap ‘berhasil’ bila mampu mengatasi segala kekurangan, entah kekurangan materi atau spirit; kedua-duanya mesti imbang terpenuhi. Untuk menggenapi, orang yang makin mampu mengurangi (mengendalikan diri) ketertarikan pada benda duniawi atau hal-hal artifisial di dalam kehidupan demi mendapatkan ‘nilai sejati’ juga lazim dianggap lebih mulai. Lepas bahwa memiliki harta melimpah dan senantiasa tersedia kerap bisa dianggap kemuliaan pada titik tertentu, orang yang mampu memilih hidup sangat sederhana, terus-menerus sengaja mengurangi kepemilikan terhadap sebanyak mungkin benda, juga dihargai dengan pantas.
Contoh atas kedua ekstrem ini banyak, misalnya Evo Morales (Presiden Bolivia) dan Ayatullah Ruhullah Khomeini (alm. pemimpin spiritual Iran). Evo Morales adalah juragan coca yang sudah begitu kaya, sampai-sampai jatah gaji jabatan presidennya dia berikan kepada rakyat; sedangkan Ayatullah Ruhullah Khomeini adalah pemimpin yang hidup begitu sederhana; informasi menyebut ketika meninggal dunia yang tersisa dari dirinya antara lain hanya buku. Kedua pilihan berbeda jauh itu ternyata bisa sama-sama mulia. Orang yang memilih kekurangan dihibur dengan keteguhan dan kecukupan. Ada keyakinan tertentu bahwa makin sedikit yang dimiliki manusia justru akan semakin mudah mengantarkan kebahagiaan; apa ini bisa juga diartikan bahwa semakin bodoh manusia (i.e. kosong sama sekali) justru akan semakin selamat? Jalan agama sering sekali menekankan bahwa manusia itu lemah, bergantung (dependen, fakir) baik kepada Tuhan dan manusia lain, sambil terus-menerus menasihati betapa mulia bila tetap rela memberi, meski dalam kekurangan. Sebaliknya, toleransi buat manusia gagal biasanya nol, dan bagi mereka yang menomorsatukan keunggulan, manusia gagal boleh dilenyapkan.
MEMBICARAKAN kekurangan terbukti sama sekali tak punya dampak menguatkan kebaikan atau keunggulan pihak yang membicarakan. Meneruskan contoh tentang suami tadi; karena melihat suami banyak memiliki 'kekurangan' (lepas dari segala kelebihan dan keunggulan yang dimiliki dengan mantap), di bawah sadar suami juga bisa merasa memang punya kekurangan, dan kemungkinannya dia jadi terobsesi melawan kekurangan dengan banyak cara. Bila dianggap kurang menawan, mungkin saja dia membalikkan anggapan itu dengan banyak-banyak berzina, agar menurut dia keadaan berbalik atau seimbang. 'Meski aku dibilang jelek, toh banyak perempuan yang mau aku ajak zina; jadi baik-baik saja.' Bila segala kebutuhan materi dan hasrat istri, anak, keluarga, terpenuhi dengan baik, masih ada satu kemungkinan kekurangan, yaitu bisa jadi dia dianggap kurang memberi nafkah agama---ialah melanjutkan topik yang pertama tadi kita bicarakan.
Kurang 'memberi nafkah agama' ini rasanya terdengar konyol. Baiklah kalau seorang suami dinilai kurang memberi nafkah agama atau memang demikian faktanya; bagaimana dia mesti membayar kekurangan itu? Apa dengan berbagi segala pengetahuan, ketaatan beragama pada istri dan anak, atau dengan segera buru-buru mendalami ilmu agama, kemudian memberikan itu pada keluarga? Mestikah kecukupan nafkah materi itu jadi sia-sia bila suami gagal memberi nafkah agama; atau apakah nafkah materi ternyata masih kurang saja buat memenuhi syarat keluarga yang baik, dan itu harus ditambah dengan nafkah batin dan agama segala? Bila ada seorang suami penuh oleh nafkah agama, tapi di sisi lain dia gagal memenuhi nafkah materi bagi istri, anak, atau keluarga, apa itu akan cukup, atau masih kurang? Bila ada suami punya ilmu agama berlebihan, terus banyak-banyak mengorbankan diri di jalan agama lebih dari pengorbanannya buat keluarga, apa tindakan itu masih terpuji? Bila seseorang karena taat beragama berkorban demi agama hingga membuat nafkah untuk keluarganya terambil, atau jadi lebih sedikit, atau malah tidak sama sekali, apa dia melakukan hal bijak? Bukankah banyak suami taat beragama dikecam karena jadi menelantarkan istri, anak, rumah, dan pergi berjuang demi menegakkan agama? Bukankah lelaki seperti itu punya banyak nafkah agama dan dia bermaksud memberikan yang terbaik buat imannya, buat sesuatu yang paling berharga dalam hidup dan dirinya? Apa sebenarnya maksud ‘nafkah yang cukup’ itu? Kenapa 'kekurangan nafkah agama' tidak dianggap sebagai kewajaran atau pilihan seseorang, toh punya nafkah agama dan materi ternyata sulit dibandingkan. Kedua hal itu ternyata lain, tidak bisa saling menggantikan. Kenapa tidak sebaiknya suami yang tidak punya nafkah agama dibebaskan dari kewajiban memberi sesuatu yang memang tidak dia miliki, dan menyarankan agar istri atau anak atau keluarganya mencari nafkah agama pada pihak lain? Bukankah manusia pada dasarnya tidak dituntut untuk sesuatu yang tidak dia miliki, atau bukan tanggung jawabnya?
Kalau ada kesepakatan, bukankah memungkinkan menukar kecukupan nafkah materi dengan kekurangan nafkah agama; dengan begitu si suami terbebas dari beban berlebihan atau sudah pasti gagal dia penuhi. Bukankah dengan segala kekayaan dan kecukupan agama atau beribadah pun, seseorang terlalu mudah dijadikan sasaran kejengkelan? Kasus ini bisa terjadi pada orang yang penuh ilmu agama tapi misalnya mengaku homoseksual, sementara agama yang dia imani melarang homoseksual. Dia akan rentan diserang; 'Dia memang taat dan punya banyak pengetahuan agama, sayang dia homo.' Dan seketika kualitas keunggulan dia berhamburan jadi debu.
Agak aneh banyak keunggulan unsur agama dalam diri orang ternyata justru sangat mudah digunakan untuk memperlihatkan kekurangan sisi lain. Seseorang dengan ketaatan beragama atau beribadah yang luar biasa justru bisa dengan gampang digugat, misal dengan komentar begini, 'Sayang dia suka memberi upah sangat kecil pada rekan kerjanya, bahkan menggunakan alasan amal buat agama.' Tapi benar; kerja adalah soal kerelaan dan kesepakatan---bila salah satu tidak ridha, bahkan alasan Tuhan dan agama pun tentu hanya akan membuat sesak dan sebal pihak yang kecewa. 'Meski ahli agama, saya nggak bisa bersimpati pada dia, habis istrinya banyak.'
Orang beriman taat beribadah ternyata mesti juga siap menanggung prasangka keji dan menjatuhkan bahkan dari sesama orang yang suka ibadah dan taat beragama; misalnya, 'Dia rajin beribadah karena punya pamrih, ingin dianggap baik oleh tetangga, dianggap saleh oleh mertua. Ibadahnya akan sia-sia. Ibadah itu nilainya nol di hadapan Tuhan.' Seseorang bisa meremehkan dan merendah-rendahkan kualitas keunggulan ulama terkemuka tertentu karena ulama itu gagal memenuhi kualifikasi ahli agama ‘berisi’ sebagaimana dia idealkan, sekaligus sesuai dengan harapan-harapan spiritualnya. ‘Membedakan antara ‘jiwa’ dan ‘ruh’ saja dia gagal, masih kabur dan tercampur-campur. Mengapa juga aku mesti mendengar ceramah dari ulama seperti dia?’
Bagaimana mungkin orang beragama berani berkata busuk seperti itu? Apa kebaikan, ketaatan, atau pengorbanan juga senantiasa kurang? Barangkali. Orang terus-menerus masih dituntut punya kualitas lain, meminta dia sabar, adil, suka bersedekah, altruistik, bisa menolong orang kapan saja. Beban orang beragama yang taat dan baik di luar dugaan ternyata begitu berat, dia juga mesti siap mengorbankan diri jadi tempat sampah pelampiasan orang lain, untuk menanggung kesalahan atau derita atas sesuatu yang tidak dia lakukan. Prasangka sejenis itu bisa menyeret orang yang ikut kelompok agama tertentu terancam dicela oleh kelompok lain, dengan alasan apa pun. Ada ahli agama dan ibadah yang dibenci karena mata ke ranjang; pemusik dikecam karena suka mengonsumsi narkotika; atau jenderal ditertawakan dan diejek-ejek karena suka nyanyi. Jujur, penilaian itu merupakan kekeliruan, salah tempat. Kalau seorang lelaki taat beragama, ahli agama ganteng, disukai perempuan, barangkali boleh buatnya menikahi lebih dari satu perempuan, terlebih bila agama dia membolehkan, mampu memenuhi syarat poligami, adil bagi masing-masing istrinya. Jika karya musik yang dihasilkan sambil mengonsumsi narkotika secara musikal bagus dan fenomenal, apa akan disingkirkan dan dilarang? Jika suara jenderal itu bisa bersaing dengan penyanyi benar, bukankah itu baik buat hiburan dan pelepasan stres hidup sehari-hari?
Tapi memang, harus diakui, menyaksikan kekurangan orang lain memang terlalu mudah membuat gatal mulut dan komentar, akibatnya meluncurlah pendapat tega seperti itu. Bukankah ini kekeliruan, sebab menuduh sesuatu yang bukan pada tempatnya. Ini mirip pernyataan begini, 'Meski bagus, sayang dia selalu menggunakan bukunya untuk menyerang agama.' Memang kenapa kalau begitu? Kalau fokus seorang penulis memang menyerang agama, mestinya itu tidak dijadikan alasan untuk menyerang dia sebagai pribadi. Ini mirip dengan komentar seorang gadis pada bintang pujaannya, 'Dia itu memang cakep... tapi sayang, agama dia beda dengan agama saya.' Lho, apa perbedaan agama bisa mengurangi kadar cakep seseorang?
KARENA kekurangan manusia begitu banyak, rasanya mustahil mengurai kekurangan itu satu demi satu sampai jernih; jika diurai bisa diterangkan dengan memuaskan dan menenangkan banyak manusia. Kalaupun sulit ditenangkan, setidaknya manusia jadi lebih jelas, yaitu tahu persis sebenarnya yang dimaksud dengan 'kekurangan' itu apa; apa itu sesuatu yang psikis dan akut, atau sekadar hasrat sementara terhadap benda. Barangkali, kunci memenuhi kekurangan itu hanya satu, yaitu 'kecukupan' atau 'kepuasan'---meski faktornya juga banyak, termasuk karena terpaksa. Tapi kenapa kepuasan terlalu sulit dicapai sedangkan kekurangan tampak obsesif? Harus bagaimana agar orang dirinya cukup? Ini pertanyaan sulit yang bisa menghabiskan argumen melelahkan, sebab mungkin akan membawa seseorang pada eksplorasi kekurangan hingga ke dasar-dasarnya, yang akhirnya yang tersisa ialah penerimaan sampai batas tertentu, atau dia akan tahu persis apa kekurangan yang dia butuhkan sekaligus tahu persis cara menenangkan dan menyembuhkan---bila dianggap perlu.
Berkompromi dengan kekurangan juga merupakan persoalan besar. Bila ada gadis bertubuh luar biasa cantik mempesona, namun miskin dan serba kekurangan, bagaimana cara dia tak menyesali kemiskinan agar tak jatuh jadi pelacur karena terobsesi oleh 'kecukupan,' jadi model porno, atau terpaksa menerima lamaran bandot tua kaya demi menutupi sisi kekurangan dirinya? Sebab keputusan bisa ditutup dengan komentar pedas, 'Memang kenapa kalau aku kawin sama bandot itu? Toh dia cukup taat beragama dan rela berkorban demi kebaikan (tubuhku).' Bila ada orang miskin, penuh kekurangan materi, yang dikhawatirkan dari dirinya adalah dia bisa dengan mudah menukar iman dengan iming-iming kelebihan harta yang memang menggiurkan. Tapi bila dengan memperoleh harta dia lebih berpeluang berbuat kebaikan, mendapat ketenteraman, kenapa tidak? Ambil contoh real: bila ada seorang Muslim (pemeluk Islam) taat miskin setelah diiming-imingi harta akhirnya memeluk Nasrani, haruskah perpindahan itu disesalkan atau mesti digugat? Coba abaikan faktor rela atau terpaksa dalam kasus ini. Mungkin akan baik-baik, apalagi bila mantan Muslim tadi tetap saleh dalam kenasraniannya. Bukankah Islam dan Nasrani masih satu keluarga dan disatukan oleh monoteisme jalan Ibrahim? Bukankah dia masih tetap berpeluang bertemu dengan Tuhan? Atau ada komentar penolakan selain alternatif itu?
Menyelami kekurangan seseorang hingga ke dasar-dasarnya memang menantang untuk penjelajahan. Bila orang merasa bahwa penghasilannya kurang banyak atau ketaatannya beribadah menjalankan praktik agama masih kurang; sebenarnya apa pokok persoalannya. Apa justru kebutuhan terlalu banyak hingga penghasilan itu secara fakta memang kurang; apa aspek agama yang begitu banyak sampai-sampai pemeluknya mesti tergopoh-gopoh menjalankan segala perintah tanpa sisa, atau memang pemeluk itu kurang taat dan bakti? Atau ada faktor luar yang membuat persoalan jadi punya sisi lain; misal, penghasilan seseorang kurang karena tuan (i.e. pemodal) memang pelit, mengambil bagian terlalu banyak buat diri sendiri daripada karyawan, ingin mengambil keuntungan mayoritas dari timbal balik tersebut; atau orang itu malas, kinerjanya buruk, sulit kompromi, hingga membuat penghasilannya jadi sedikit, atau pekerjaan itu tidak cocok buat dia dan dia tidak diciptakan untuk mengerjakan hal itu, akibatnya buah dari perbuatan itu jadi buruk. Kekurangan yang terjadi karena 'faktor luar' itu termasuk peristiwa yang memang terjadi di luar kuasa atau kehendak manusia, misal: sumbing, cacat tubuh dan indra, penyakit, malapetaka yang masih gagal diatasi oleh pencapaian akal budi tertinggi manusia sekalipun, misalnya AIDS, autisme, kerusakan saraf dan organ. Menghadapi fakta sepert itu kebanyakan manusia, bahkan filosof paling berani atau umat beragama paling taat dan berpengaruh pun kerap hanya bisa mengelus dada---kalau tidak melengos karena kesulitan melampiaskan perasaan paling tepat mengomentari hal tersebut.
Menemukan faktor yang persis tepat menunjukkan kekurangan orang memang sulit. Ini sama saat mencari faktor paling dasar ketika menghadapi mahasiswa DO. Mahasiswa bisa bilang apa saja kenapa memutuskan DO, entah karena sudah bosan kuliah, kondisi kuliah, dosen, dan kampus ternyata mengecewakan, kuliah tidak sesuai dengan minat dan cita-citanya sekarang, secara ideologi sudah berseberangan, sulit menghadapi dosen dan mata kuliah, karena nilai ujiannya buruk-buruk dan itu membuat dia di DO, atau dia membuat pelanggaran tak terampuni di alma mater. Orang bisa cerita apa saja; tapi hanya satu alasan yang membuat seseorang akhirnya mesti menempuh jalan lain.
ADA satu penghiburan bagus yang barangkali bisa digunakan untuk menjernihkan persoalan kekurangan, yaitu adagium ‘orang yang mengenal diri akan mengenal Tuhan’---meski tetap khawatir mengajukan pernyataan ini merupakan kekeliruan. Kenapa mesti bawa-bawa Tuhan, apalagi mengingat hubungan manusia dengan Tuhan sebenarnya berat sebelah, yaitu manusia yang terlalu berharap. Tapi, orang beragama akhirnya niscaya menisbatkan kekurangan pada makhluk, akibatnya dia mengembalikan kekurangan itu pada Tuhan yang maha segala. Bagi yang percaya, Tuhan adalah muara seluruh kekurangan, tempat menyandarkan seluruh harapan bahwa kekurangan bakal terpenuhi. Tuhan adalah zat paling luhur dan bisa diandalkan untuk menyelesaikan segala-galanya. Tuhan mestinya, dan wajar, bisa menyelesaikan signifikansi apa pun persoalan kekurangan. Kekurangan usia atau umur bisa diselesaikan oleh janji Tuhan akan keabadian di akhirat; jadi mestinya hentikan saja segala upaya buat mengawetkan tubuh dan hasrat ingin abadi---sebab sudah ada akhir yang paling ultima.
Kemiskinan adalah kasus kekurangan uang atau kegagalan memenuhi keinginan; tambatkan pemenuhan itu pada Tuhan. Di sebuah buku tentang hidup dan alam semesta tertulis: Jika memang ikhlas atas pemberian Tuhan, mereka berkata, 'Cukuplah Tuhan bagi kami; Tuhan akan memberikan sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya kami orang yang berharap kepada Allah.' Ini tentu lebih baik bagi manusia. Sementara bagi orang yang menolak Tuhan atau ragu bahwa Dia ada, serahkan itu pada hidup atau kenyataan---sebab itu pun kerap di luar kuasa manusia. Atau kalau berani mengarungi hidup, jangan khawatir takut melangkah terlalu jauh, sebab kebenaran masih ada di seberang, dan begitu memilih jalan, sudah sewajarnya bila orang harus loyal sampai pada kenyataan (konsekuensi) buruk pilihan itu.
Meski harus diakui manusia terlalu mudah nyerah dan terlalu cepat suka bersenang-senang, puas, atau bangga, setidaknya mereka tahu betapa sebagai citra sempurna Tuhan, pada dasarnya, sejak awal sejarahnya, manusia memang senantiasa merasa kekurangan, dan sisi itu terus jadi perdebatan entah mesti ditaklukkan atau dipuaskan.[] 18/08/06 0:27

No comments: