Thursday, April 26, 2007

Menemukan Spirit Menulis
>> Anwar Holid


Harga Sebuah Impian dan Kisah-Kisah Nyata Lainnya
Judul asli: Chicken Soup for the Writer's Soul
Penyusun: Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Bud Gardner
Penerjemah: Rina Buntaran
Penerbit: GPU, 2007
Tebal: 201 hal.
ISBN: 979-22-2546-3


Chicken Soup for the Soul merupakan salah satu serial buku paling fenomenal yang pernah terbit di Amerika Serikat (AS) pada awal 1990-an. Kesuksesannya terus bertahan dan berkembang hingga sekarang, bahkan kini menawarkan tema yang amat luas demi menjangkau kalangan tertentu sebanyak-banyaknya, termasuk remaja, ibu-ibu, wanita karir, kakek-nenek, bahkan narapidana. Per Januari 2006, seri Chicken Soup sudah mencapai 105 judul, terjual lebih dari 100 juta kopi, diterjemahkan ke lebih 50 bahasa. Semua di luar bayangan Jack Canfield dan Mark Victor Hansen, pencipta serial tersebut.

Chicken Soup secara khas terdiri dari kisah nyata pendek inspirasional dan motivasional, baik berupa cerita maupun esai. Biasanya satu judul memuat 101 kisah, rata-rata 4-5 halaman, hanya butuh beberapa menit untuk menuntaskannya. Pembaca bisa memulai dari mana saja, sebab kualitas cerita dan tujuannya sama, yaitu menyentuh, mengharukan, memberi semangat. Kisah tersebut sarat pelajaran, wawasan, dan kebijaksanaan, hingga selesai membaca salah satu kisah, pembaca sering terhenyak oleh betapa hidup seseorang bisa berubah oleh peristiwa tertentu yang sangat mengesankan; ketika itulah seseorang mendapat pelajaran seumur hidup yang tiada terkira mahal, melekat terus dalam benak, sulit dilupakan.

Menggandeng Bud Gardner, kali ini Jack Canfield dan Mark Victor Hansen menghidangkan ‘sup ayam’ spesial ditujukan bagi dunia yang selama ini melambungkan reputasi mereka ke tingkat sangat tinggi, yaitu dunia tulis-menulis dan perbukuan. Chicken Soup for the Writer's Soul edisi Indonesia ini terdiri dari 42 kisah dari ranah penulisan yang ladangnya luas. Di samping profesi yang sudah lekat dengan dunia kepenulisan, seperti novelis dan wartawan (jurnalis), mereka di antaranya menjadi kolumnis, penulis rubrik konsultasi, naskah lawakan, script-writer (skenario), tips rumah tangga, ibu rumah tangga freelance. Kesamaan utamanya, semua kontributor sudah pernah menerbitkan buku, laris (best seller), hingga akhirnya bisa hidup sejahtera dari menulis dan tinggal konsisten menghasilkan karya. Bisa dipastikan pemberi semangat tersebut bukan jenis penulis atau 'sastrawan' lusuh, kere, hidup dalam ketegangan mencari ide orisinal dan ingin menelurkan karya fenomenal. Mereka jenis penulis sukses yang mau belajar dari kesalahan dan hati-hati menjalani karir. Meski bukan tipe penulis kelas pemenang hadiah Nobel dan anugerah sastra terkemuka, teladan dari mereka ialah disiplin, berdedikasi, dan profesional.

Kisah Richard Paul Evans (h. 101-108) ketika menerbitkan sendiri The Christmas Box tentu bisa memotivasi dan menginspirasi, bagaimana optimisme mengalahkan kekhawatiran akan masa depan. Dia menulis novel 87 halaman itu sebagai hadiah Natal untuk kedua putrinya. Ternyata sebuah ilham memberinya keberanian membuat salinan sebanyak dua puluh kopi, dihadiahkan kepada keluarga dan teman. Dari sana sesuatu terjadi. Tanpa dia duga banyak orang meneleponnya dan bilang betapa buku tersebut menyembuhkan. Karena banyak dicari, seorang manajer toko buku menyarankan agar naskah itu ditawarkan ke penerbit. Ternyata semua menolak. Natal tahun berikutnya dia dan istrinya mencetak 20.000 kopi, menjual sendiri, dan sukses di negara bagiannya.

Sampai 1994 The Christmas Box belum punya penerbit, tapi suami-istri itu yakin bahwa Tuhan sengaja memberi misi dengan buku tersebut. Meninggalkan karir, menggunakan tabungan keluarga, dan meminta bantuan investasi seorang teman, mereka mengorbankan segala-galanya demi menerbitkan buku itu secara nasional. Ketika hendak mengambil risiko besar itulah tanda-tanda kegagalan segera ada di ambang mata. Di Pantai Timur dan Selatan, buku itu terkubur di antara ribuan judul lain. Bila tak laku sesudah Natal, buku itu pasti akan kembali dan mengonggok di gudang, menghabiskan uang yang ditanam, dan toko tak akan pernah memesan lagi. Ketika butuh publisitas media massa dan televisi untuk mendongkrak bukunya, Paul Evans sudah nyaris bangkrut. Rencana talkshow bukunya di televisi gagal diganti oleh acara tentang mendengkur, wawancara dengan People batal. Di saat bersamaan istrinya mengalami komplikasi kehamilan serius. Dia di ujung putus asa. Meski begitu ilham tetap menguatkannya. Ketika hendak menata ulang pemasaran buku itu, People memutuskan memuat artikel tentang buku tersebut. Keadaan segera berbalik. Sebentar kemudian dia ditelepon NBC agar menghadiri talkshow. Tiga minggu kemudian bukunya mencapai #2 di daftar best seller New York Times Book Review. Penerbit dan pembuat film berdatangan menawar bukunya. Simon & Schuster membeli hak penerbitan buku itu seharga US$4,2 juta. Akhirnya buku itu mencatat sejarah sebagai satu-satunya judul yang edisi hardcover dan paperback bersamaan menempati posisi pertama daftar best seller New York Times Book Review, diterjemahkan dalam 18 bahasa, dan sekitar 60 juta orang menonton filmnya.

Kisah penyemangat dari 41 penulis lain terungkap satu demi satu. Hanya nuansa dan penekanannya berbeda-beda. Kisah itu ditulis jujur, tulus, dengan tujuan berbagi gairah, kebahagiaan, pelajaran, dedikasi, profesionalisme, disiplin, ilham, dan wawasan. Wajar bila di setiap halaman selalu ada pernyataan, kalimat, adagium, parafrase, ungkapan, yang bisa dijadikan penggugah, kutipan favorit, pengikat semangat bagi pembaca, terlebih-lebih bila mereka sedang mencari peneguh memasuki dunia tulis-menulis. Sesama kontributor pun ternyata saling belajar, apalagi dari penulis atau guru menulis legendaris yang jadi favorit mereka ketika masih muda dan perlahan-lahan meniti karir di dunia penulisan. Mereka rendah hati, mau bekerja sama, mudah membantu.

Karena para penyumbang adalah 'penulis yang diterbitkan', kehidupan dan karirnya mempertaruhkan kemampuan menulis, sikap menghadapi penolakan, bersabar dengan kegagalan jadi topik yang sering dibahas. Pada saatnya mereka menemukan kemampuan terbaik sebagai kekuatan terbesar. Uang, kesuksesan materi dan karir, sekilas menjadi motif dan ukuran puncak seorang penulis. Meski pernah silau oleh itu semua, yang akhirnya disadari paling berharga dan bernilai tiada terkira ialah niat menemukan kebahagiaan, bahwa di atas kejayaan duniawi, mereka mengejar kepuasan batin dan hanya ingin berhasil menulis sebaik-baiknya. Tulis Dan Millman: Yang bisa kita lakukan sebagai penulis hanyalah mencoba, mengerahkan usaha, menabur benih, dan menuai panen yang diberikan dengan penuh sukacita dan syukur (h. 75).


HARUS dimaklumi buku ini terbit sesuai konteks industri penerbitan AS yang sudah mapan, seluruh unsur pendukungnya pun tumbuh semarak. Kondisi itu memungkinkan penulis bisa bekerja sama secara fleksibel dan menguntungkan dengan editor, agen naskah (literary agent), asosiasi penulis, penerbit, publisitas, agen film, sindikasi media, termasuk penerbitan ulang dan lembaga pajak. Semua memudahkan penulis menggandakan keberhasilan dan bisa mendapat bagian penghasilan dari berbagai jalur. Namun, di luar kemapanan maupun sistem yang sudah rapi, selalu saja lahir keajaiban yang kehadirannya senantiasa mengejutkan. Sejumlah keajaiban itu banyak hadir dalam buku ini.

Tampaknya ada perbedaan jumlah kisah dalam edisi Indonesia dibandingkan edisi asli. Dugaan ini bisa ditengarai di pendahuluan. Di situ dijanjikan pembaca bisa mengetahui kisah Steve Allen, Ernest J. Gaines, dan Hugh Prather, padahal tidak ada. Rupanya editor lupa mengganti nama mereka dengan penulis lain yang kisahnya disertakan. Kecerobohan ini sedikit mengherankan; apalagi bagi pembaca yang tahu bahwa edisi Inggrisnya memuat tulisan Dave Barry, Art Linkletter, dan Agatha Christie---yang juga tidak dipilih dalam edisi Indonesia.

Bila boleh disebut sebagai 'kekurangan' lain, kontributor tidak diberi biodata singkat sedikitpun, akibatnya---dibaca dalam konteks perbukuan Indonesia---mereka seolah-olah 'bukan siapa-siapa' yang pernah memberi kejutan maupun riak dalam khazanah industri penerbitan dan pers di AS. Ada baiknya editor mau menambah materi tersebut, toh bahan profil bisa dilacak cukup mudah melalui Internet. Misalnya tentang Dan Poynter, yang di bidang perbukuan dikenal sebagai pelopor 'self-publishing' (menerbitkan sendiri), sampai-sampai dijuluki 'ayah baptis ribuan buku' (h. 173).

Tapi barangkali Chicken Soup justru ingin mempertahankan kekhasannya, yaitu memberi kebajikan tanpa menggurui, bahwa pelajaran hidup bisa didapat dari siapa pun, apa pun reputasi penceritanya. Penyusun seri ini sudah kenal betul watak orang yang sering malas bila seolah-olah membaca ceramah sosok terkenal yang mesti didengar pengalamannya. Pembaca sekarang malah sering terkesiap oleh cerita mengesankan dari manapun, meski spam, namun setelah dibaca ternyata membangkitkan spirit, langsung 'nendang' ke hati.[]

Anwar Holid, eksponen komunitas TEXTOUR, Rumah Buku Bandung.

FYI: Resensi ini dimuat di Kompas, Minggu, 15 April 2003

Kontak: Jalan Kapten Abdul Hamid, Panorama II No. 26 B Bandung 40141 Telepon: (022) 2037348 HP: 08156-140621 Email: wartax@yahoo.com

No comments: