Friday, June 13, 2008



JEDA AGAK LAMA TENTANG KEHIDUPAN
---Anwar Holid



Rasanya aneh punya adik mendadak jadi janda. Tapi kalau kehidupan menghendaki, semua bakal terjadi. Hidup mah ada-ada saja.



Setelah menikah kira-kira 6-7 tahun (aku bahkan lupa persis tahun perkawinan mereka), adikku kehilangan suaminya awal Juni ini. Mereka punya satu anak lelaki berumur 5,5 tahun, masih TK. Anak ini diberi nama berkebalikan dengan anak sulungku. Anak mereka melayang ke angkasa---diberni nama Bintang; anakku menancap ke bumi, diberi nama Ilalang. Adik iparku meninggal karena sakit sirosis (gagal hati akut). Dia berumur 34 tahun, sama dengan aku. Adikku sendiri 30 tahun.



Karena meninggal itu aku langsung ke Purwokerto, tempat tinggal mereka. Aku sangat jarang ketemu dengan adikku, apalagi dengan suaminya. Mungkin baru ketemu 3-4 kali. Ini memperlihatkan bahwa aku kurang peduli sama keluarga dekat. Harus kuakui ini benar. Aku paling-paling kirim SMS ke adikku, itu pun kalau perlu. Dulu, waktu masih lajang, aku beberapa kali kirim surat ke dia. Dia tinggal di P. sejak kuliah hingga kini. Aku sesekali ke kosan dia waktu mahasiswa dulu; untuk pertama kalinya menikmati soto khas daerah itu yang ditaburi bubuk kacang tanah. Waktu zaman "sastra pedalaman", aku minta dibelikan buku Lingkar Tanah Lingkar Api karya Ahmad Tohari yang diterbitkan di Banyumas, kota kembarnya. Praktis adikku nggak punya sodara sedarah di kota yang datar jalannya itu. Gara-gara kematian suaminya, aku jadi ketemu lagi dengan bapak dan emak, juga bibiku. Ayah dan ibuku datang lebih awal, meski mereka berangkat dari Metro, Lampung. Sementara bibiku dari Cijulang, Ciamis. Rupanya kematian bisa mempertemukan keluarga yang jauh tinggalnya. Ayah ibuku tinggal di Lampung, sementara paman dan uaku di Cijulang, desa dekat Pangandaran. Waktu menginap di rumah mereka aku mendapati beberapa buku yang dulu aku kirim buat dia. Menarik. Kenanganku langsung tersedot ke masa silam.



Aku jelas buta tentang perkawinan adikku. Aku hanya sesekali dengar kisah mereka dari ibu atau adik bungsuku. Mereka bilang dia seorang wiraswasta. Dulu mereka sama-sama kuliah di Universtias Jenderal Soedirman (Unsoed), cuma beda jurusan dan angkatan. Setelah menikah, dia mencari nafkah dari sewa-menyewa soud system. "Obsesinya memang bikin studio musik," kata adikku di sela-sela obrolan kemarin. Tapi mungkin bisnis itu kurang sukses buat dia, sampai aku dengar dia mengelola rumah makan dan pemancingan. Tapi mungkin kerja ini juga amat berat, hingga dia katanya jadi jarang pulang karena terlalu sibuk. Baru-baru ini dia melepas bisnis rumah makan itu, dan mendirikan warnet. Aku dengar adikku, mereka pinjam dari tiga bank untuk mengelola warnet dengan jaminan rumah wasiat dari orangtua adik iparku. Total utang ke bank itu kira-kira 100 juta rupiah. Itu jumlah yang besar sekali menurutku. "Mungkin gara-gara utang itu dia kelihatan stes," kata adikku. Tapi tentu adikku pun pasti dagdigdug kalau melihat bahwa dia kini sendiri jadi penanggung jawab utang. Aku sendiri masih punya utang ke sodara dan teman, dan hingga kini kesulitan kapan bisa mencicilnya.



Dulu waktu menghadiri perkawinan mereka, iparku ini nyanyi dan main musik; aku gagal memainkan satu alat musik pun. Di panggung mereka nyanyi dangdut---"Sepiring Berdua?" aku sudah lupa. Di rumah mereka kini aku lihat puluhan majalah tentang musik dan audio juga teknologi rekaman. Ini menarik buatku, karena aku suka dengar musik. Setiap ada jeda aku selalu buka-buka majalah itu. Terus terang aku sangat bergantung pada orang lain agar bisa baca berita musik, kalau bukan sengaja aku cari di Net. Akhir-akhir ini aku sering pinjam Rolling Stone Indonesia ke Budi Warsito, kalau bukan buka-buka di Rumah Buku. BTW, Rumah Buku kemarin masuk Rolling Stone Indonesia sebagai "the coolest library in town." Hooraai!
Aku kecut dengar tentang penyakit suami adikku, sirosis. Aku jadi sadar betapa berharga arti kesehatan. Aku nggak tahu apa dalam tubuhku ini ada penyakit parah; siapa tahu. Aku yakin kepalaku merupakan bagian yang paling rawan. Dulu kepalaku terbentur keras sekali, dan sekarang aku berdoa dan berusaha agar itu tak fatal. Aku sangat hati-hati agar jangan sampai kepalaku terbentur lagi, karena kalau nggak, aku bisa demam tinggi. Mumet sedikit saja biasanya bisa membuat kepalaku sakit dan itu artinya aku harus segera mengistirahatkannya.



Hati yang kena sirosis betul-betul hancur dan rusak sama sekali; total gagal berfungsi. Kata adikku, hati suaminya boyak-boyak. Dulu waktu masih hepatitis (mungkin C), hatinya difoto. Adikku bilang, "Ini foto hati mas dan ini hati yang kena sirosis. Jangan sampai hati mas jadi yang seperti ini!" Tapi ternyata hatinya tambah rusak. Adikku cerita betapa parah sirosis mendera suaminya, sampai dia muntah darah, koma dua hari, bahkan darah keluar dari hidungnya. Belum lagi ketika di rumah, pencernaannya gagal berfungsi sama sekali. Hanya sendiri dengan anak kecil, terbayang betapa dia menjalani masa hidup paling sulit dalam perkawinan demi mengurus pasangan. Apa yang bisa aku lakukan agar kesehatanku terjaga, batinku. Aku belum tentu sehat, meski tidak merokok, mengharamkan alkohol, bebas narkoba, juga tidak pernah keluyuran. Paling aku agak sering begadang untuk mengganti jam kerja yang kacau; tapi tidurku rasanya cukup. Makananku juga cukup sehat. Ubing sangat perhatian dengan gizi yang kami konsumsi. Yang menonjol aku merasa diriku masih malas dan kurang kerja keras.



Suami adikku di kubur di samping makam eyangnya, ibunya, dan sodaranya. Ibunya juga meninggal karena sakit hati, hepatitis. Bintang, waktu kami melayat ke kuburan ayahnya yang masih merah bertabur bunga, bilang, "Ini tempat ayah sekarang, mah?"
"Iya."
Anak kecil itu sudah tahu sedikit tentang kematian ayahnya. Begitu di rumah tak ada ayahnya, dia rewel dan mencari-cari ayahnya atau menciumi foto-foto ayahnya. Tapi ketika tahu dia ada di dekat ayahnya, meski di kuburan, dia tenang.



Aku mendadak kasihan pada adikku. Semoga dia diberi ketenangan menghadapi semua yang harus dihadapi. Ayah & ibuku mungkin menemani dia sekitar 6-7 hari. Adikku tentu harus mengurus semua karena kematian itu; mulai dari harta hingga persoalan yang mungkin tak dia ketahui. Apa misalnya dia menyembunyikan deposito atau warisan. Mengurus kematian aku yakin sama repotnya mengurus kelahiran. Aku saja repot mengurus kelahiran dua anakku dulu. Bedanya, suasana mengurus kematian mungkin sedih; sementara mengurus kelahiran gembira. Bagaimana kalau ternyata suami adikku punya utang besar yang selama ini tak ketahuan? (Semoga tidak.) Aku berharap keluarga suaminya tetap baik sebagaimana mereka buktikan selama ini. Aku sendiri janji akan tambah rajin menghubungi adikku.



Dari P. aku menuju Cijulang, tanah leluhur keluargaku. Cijulang ini desa di sekitar pantai Pangandaran. Keluarga besar ayahku tinggal di sini. Aku juga sangat jarang ke sana. Istri pertama Aa Gym---Teh Ninih---berasal dari sini. Dia anak ajengan sebuah pesantren. Sekarang, di Cijulang ini tinggal paman dan dua uaku. Banyak juga sodara lainku di sini, tapi semua itu terhubung sempurna oleh ayahku dan sodara-sodaranya. Pamanku baru-baru ini dirawat 29 harian karena sakit jantung. Waktu aku ketemu, tangan kanannya masih gagal digerakkan, sementara yang kiri sudah cukup normal, bisa buat pegang hp. Yang parah kakinya, masih sakit luar biasa, meski sekarang agak mending. Mungkin ini sakit dia yang paling parah. Dari cerita bibiku, pamanku mengalami near-death experience di puncak sakit waktu dirawat. Dia berkali-kali meracau tentang ibunya (nenekku.) Terakhir kali aku mau diajak ke Cijulang ialah waktu Lebaran lalu (1428 H), oleh keluarga lengkap Kang Indra. Sayang aku nggak bisa karena masih di Serang, di keluarga mertuaku.



Pulang ke Bandung sambil mulai baca Imperium (Robert Harris). Novel ini ditulis dengan rancangan sempurna, terutama dari sisi setting dan pembentukan karakter. Aku merasakan Romawi zaman kuno, pidato khas para politikus (terutama tentu saja oleh Cicero), intrik politik, keculasan bandit politik, bahkan kuil-kuil yang berdiri di sana. Rasanya gambaran tentang Romawi kuno yang sering aku lihat di buku filsafat atau sejarah terwujud sempurna di situ. Keterbacaan terjemahan Femmy Syahrani dan editan Siska Yuanita ini juga top. Sekali buka, aku menghabiskan lebih seratus halaman. Tapi sayang kini belum bertambah lagi karena aku harus fokus lagi pada order yang belum beres.



Kematian suami adikku memberi aku jeda agak lama tentang kehidupan. Entah kenapa bareng dengan kematian adik iparku itu keluargaku banyak kena musibah. Keponakanku dari pihak istri, yang seusia Shanti (menjelang 2 tahun), baru-baru ini terguyur air mendidih; sementara uaku (ibu angkatku) sampai dirawat di rumah sakit karena shock mau diperas penjahat dengan bilang bahwa cucu dan menantunya kecelakaan parah. (Sebenarnya, ini tipuan klise.) Kematian terakhir yang bikin aku terdiam ialah wafatnya Lisa Lukman; teman dari Jakarta yang tiap ke Bandung pasti nginep di rumah. Dia sebentar lagi jadi sarjana dari Driyarkara; tapi hidup lebih cepat menghendaki kematiannya.



Suatu hari aku bakal mati. Aku hidup ini juga salah satunya menunggu mati. Betulkah? Rasanya semua kematian itu mendadak. Baru-baru ini Ubing dapat sms bahwa Wira meninggal. Wira ini anak Klab Nulis yang dulu dia fasilitasi, juga pernah mengiringi Ilalang main gitar waktu perpisahan TK. Itu mendadak sekali. Kata ibuku, dulu, waktu masih kelas 4 SD (tahun 80-an), aku juga sudah hampir mati. Aku kena muntaber bareng kakakku. Tapi aku yang akhirnya selamat dan sehat; sementara kakakku meninggal. Dia kelas 6 kalau tidak salah. Sekarang, aku rasanya masih ingat bagaimana sakit disentri, rumahku tiba-tiba penuh sesak oleh orang lain, sekilas terlihat mata ibuku sembab, juga orang bikin patok.



Boleh jadi aku bohong sedang menunggu mati, sebab aku juga tak menyiapkan apa-apa buat pergi ke sana. Aku bahkan tambah banyak menumpuk dosa. Salah satu yang bikin aku semangat menghadapi kematian ialah aku agak yakin bahwa kematian bakal menghentikan dosaku. Waaah---apatis sekali kamu, Wartax!



Seperti apa rasanya jadi janda? batinku. Mungkin terlalu dini membicarakan itu pada adikku. Sebagian temanku cerai, kawin sama janda/duda, kawin lagi dengan gadis. Uaku sendiri janda cerai, dan ia tampak bisa mengarungi hidup baik-baik saja sepengetahuanku. Kalau aku perhatikan dari reaksi orang di sekitar Panorama, aku yakin uaku dihormati banyak tetangga. Itu membuat aku lega. Tiga dari sodara kandung Ubing juga pernah jadi janda. Jelas kualitas orang tak ditentukan apa dia janda atau gadis dan sejenisnya. Kadang-kadang, dalam putus asaku menghadapi perkawinan dan rumah tangga, aku pikir mungkin menarik jadi janda/duda; sebab orang bisa bebas lagi menentukan segala sesuatu sendirian. Tapi hidup sendiri juga punya drama. Jadi hadapilah kenyataan kamu sebaik-baiknya.



Semoga adikku baik-baik saja dengan kehidupannya, termasuk diberi kekuatan dan ketabahan menghadapi segala tantangan.[]11/Juni/08



PS:
* Adikku bernama Umi Kulsum. Dia alumni Universitas Jenderal Soedirman, jurusan biologi; sementara suaminya bernama Anggoro.
* Soal betapa fatal sirosis, cek http://en.wikipedia.org/wiki/Cirrhosis dan eksternal linknya.

4 comments:

Urip Herdiman Kambali said...

Ikut berduka cita atas meninggalnya adik ipar Bung Anwar. Salam.

Anwar Holid said...

Terima kasih mas.

Meninggal memang sifat alamiah kita.

Si Pemimpi said...

mas wartax, turut berduka cita atas wafatnya adik ipar. maaf saya tidak tahu kabar ini, dan maaf juga sangat jarang berkirim kabar.

Anwar Holid said...

Makasih mas Wawan. Konon kata kang bondet sudah dapat grant buat ke US?

Selamat ya.