Thursday, July 03, 2008



Apa Perjalanan Mengubah Dirimu?
---Anwar Holid



Menyusuri Lorong-Lorong Dunia, Jilid 2
Penulis: Sigit Susanto
Penerbit: Insist Press, 2008
Halaman: xvi + 479
ISBN: 979-3457-89-9

/*/

Keliling Eropa 6 Bulan Hanya 1000 Dolar (Back "Europe" Pack)
Penulis: Marina Silvia K.
Penerbit: Gramedia (GPU), 2008
Halaman: 267 + viii
ISBN: 979-22-3679-8




DALAM JARAK agak berdekatan, baru-baru ini dua orang penulis sama-sama melahirkan buku tentang perjalanan. Pada awal Mei Sigit Susanto meluncurkan Menyusuri Lorong-Lorong Dunia, Jilid 2 (Insist Press), sementara di akhir bulan Marina Silvia K meluncurkan Keliling Eropa 6 Bulan Hanya 1.000 Dolar (GPU). Sigit melakukan safari dari kota ke kota di Jawa untuk mempromosikan bukunya ditemani sejumlah kawan komunitasnya, sementara Marina meluncurkan buku di Kinokuniya, ditemani Putri Indonesia 2007, Kamidia Radisti.


Meski sama-sama merupakan hasil perjalanan (travel writing), mereka berdua punya kekhasan yang membuat dua buku tersebut punya keunikan masing-masing. Sigit Susanto melakukan perjalanan ke kota-kota benua Eropa (Swiss, Irlandia, Portugal, Hongaria), Afrika (Maroko), Asia (Vietnam, Cina.) Marina Silvia sejak awal fokus menuju Eropa, berhasil menjelajahi puluhan kota, baik yang terkenal maupun namanya belum pernah terdengar sebelumnya. Sigit selalu berangkat bareng istrinya, sementara Marina berangkat sendiri, namun dia punya teman hampir di setiap kota yang disinggahinya. Sigit memanfaatkan jasa biro perjalanan, sementara Marina memanfaatkan komunitas di sebuah situs backpacker. Istilahnya, dia menggunakan "jalur pertemanan."


Pengemasan buku mereka pun kecenderungannya lain. Marina sangat mengandalkan unsur visual (pandangan), foto bertebaran di setiap halaman, dan ditata ala menulis blog. Sementara Sigit jauh lebih serius; di tiap awal bab dia memuat rute perjalanan, dan di akhir bab memuat sedikit foto hasil lihat-lihat. Yang paling mencolok tentu saja cara bertutur. Marina seperti tengah duduk di depan pembacanya, menceritakan seluruh jurnal perjalanannya yang warna-warni. Sementara Sigit memaparkan panjang lebar pengamatannya ditambah drama-drama kecil yang terjadi dalam perjalanannya. Ketertarikannya yang besar pada sastra, politik, dan budaya menolong dia mendapat informasi yang sangat kaya.

SIGIT DAN MARINA merupakan contoh pejalan yang memanfaatkan kemajuan teknologi dalam dunia turisme dan jalan-jalan, memperlihatkan bahwa perjalanan mereka disiapkan sebaik mungkin agar berlangsung terencana, menyenangkan, selamat, maknawi. Marina bahkan sangat menekankan pentingnya Internet, agar dia tetap bisa berhubungan dengan keluarga, teman, kenalan, dan mengisi blog. Mereka berdua bukan petualang dalam arti nekat menghadapi bahaya atau menempuh alam liar dan asing nan mengerikan. Tapi itu jelas bukan suatu kekurangan, karena tujuan perjalanan itu bukan gagah-gagahan, melainkan mendapatkan pengalaman baru yang boleh jadi bakal terjadi sekali seumur hidup dan karena itu pasti sulit dilupakan.


Marina membuktikan dengan uang seribu dolar (kurang dari sepuluh juta rupiah), dia bisa keliling Eropa selama enam bulan. Bagaimana dia bisa mengumpulkan uang segitu? Tentu dengan kerja keras, menabung, cari-cari proyek. Waktu itu dia masih kuliah tahun akhir di ITB. Di Swiss, Sigit menyisihkan pendapatan dari kerja di restoran membuat hamburger sekaligus jadi tukang kebun.Dia terutama ditolong oleh sistem kerja, sosial, dan politik agar tetap bisa menabung, lantas memanfaatkan waktu libur, mendapat cuti, kemudian kembali lagi dengan selamat.


Seru perjalanan lebih karena pengalaman membuka mata dan hati terhadap hal baru, termasuk yang boleh jadi bisa membuat gegar budaya. Marina bertemu dengan puluhan host istimewa, yang menguji keterbukaan diri sendiri juga iman. Sigit pernah mendapat perlakuan rasis ketika menginap di Cina.


NAMUN entah kenapa dalam kepala saya muncul rasa sayang dan agak sedih karena ternyata tempat, kota, dan negeri kita sendiri masih jarang ditulis bahkan oleh warga sendiri. Boleh jadi ini ironik, sekaligus melahirkan tantangan. Bukankah tempat tinggal kita sendiri pun boleh jadi sama menariknya dengan setiap tempat di manapun kalau kita bisa menemukan hal terbaik yang layak diceritakan? Salah satu alasan paling kuat untuk menulis tentang diri kita sendiri---budaya, keyakinan, adat, dan lain-lain---ialah fakta ternyata orang lain kadang-kadang malah duluan menulis tentang diri kita.


Di Among the Believers dan Beyond Belief, V.S. Naipaul menulis tentang kaum Muslim Indonesia berkat perjalanannya ke Jakarta, Bandung, Jogja, dan sejumlah kota lain. Norman Lewis pada 1990 menulis perjalanannya ke Wamena, Papua (dulu masih Irian Jaya), bertemu suku Dani yang mengenakan koteka sebagai pengalaman terhebat yang pernah dia lakukan, karena dia menyaksikan masyarakat yang lain sama sekali dengan dirinya. Gola Gong duluan melakukan dan menulis hal itu dalam avonturirnya ke Indonesia Timur selama 1986. Sebagai warga yang kenal betul tempat sendiri, kita bahkan mungkin bisa menceritakan sudut-sudut yang tak terlihat mata orang lain dan masih luput dari pengamatan GoogleMap.


Orang bisa memilih perjalanan yang lebih selamat dan menyenangkan, kalau perlu penuh kenang-kenangan dan oleh-oleh. Perjalanan Marina dan Sigit tampak sulit dibantah memang bisa mengubah pandangan dan pikiran seseorang akan orang lain, budaya, bahkan hidup itu sendiri. Mereka meneropong kehidupan, menangkap detil, menggali khazanah yang pernah dilahirkan manusia, berikut potensi ancaman, konflik, maupun sisa-sisa kehancuran, lantas membagikan pada orang lain.[]


CATATAN: Kolom ini awalnya dimuat di Selisik, Republika Minggu, 29 Juni 2008. FYI, Kanisius akhir 2007 menerbitkan Di Jawa, Petualangan Seorang Antropolog karya Niels Mulder. Buku ini memang mayoritas berisi pengalaman kenapa dan bagaimana dia bisa tertarik hidup di Jawa, tapi pengalaman dia selama ada di tempat lain di Indonesia juga terungkap di sana-sini. Idealnya, ketiga buku ini diresensi masing-masing, bukan keroyokan seperti ini.

2 comments:

catatan salwangga said...

perjalanan memang mengubah diri setiap manusia. dari culun, manja, kolokan menajdi beringas, bersahaja, pikun.

juga, dari tak punya nalar menjadi bersahaja dan berwibawa.

pastinya juga, dari seksi, sintal, montok, menjadi tua dan keriput. hingga akhirnya hanya pantas ditimbun tanah.

itulah perubahan nyata saksi perjalanan manusia. dari liang nikmat sampai liang lahat.

perjalanan abadi ialah bukan menyusuri bumi inchi demi inchi. tapi, selancar jiwa berbasis religi. itulah perjalanan sejati.

salam kenal,
salwangga

Anwar Holid said...

Wah, makasih sudah baca tulisan itu. Menyenangkan.

Keep your hand moving. :D Aku sudah save blog kamu; nanti aku baca.

Wasalam,

Wartax