
[jurnal harian]
13_06_2009
Ternyata aku masih sempat buka-buka The Book of Disquiet (Fernando Pessoa) selama main ke rumah mas Andar Manik & mbak Marintan Sirait di daerah Dalem Wangi, Dago Bengkok (Jajaway), komplek PPR ITB, pada Sabtu, 13 Juni, dari siang sampai magrib. Buku itu menurutku tambah menarik, karena ternyata memuat segala kegelisahan penulisnya---yang bernama Bernardo Soares. Dia seorang asisten perbukuan di sebuah perusahaan pajak yang pendiam; tapi ternyata diarinya betul-betul penuh berisi unek-unek dan berat dengan beragam kedalaman hati yang menakjubkan. Aku yakin, kalau orang punya kesempatan mengungkapkan isi hatinya, kira-kira seperti itulah yang akan mereka omongkan. Rasanya aku pun demikian. Kita jadi benar-benar merasa bicara dengan diri sendiri---yang menurutku lebih sehat daripada mengurusi orang lain.

Sambil duduk-duduk di halaman luas yang hijau, di samping hutan di rumah Bintang itu, kepalaku bilang: sudah lama sekali aku enggak menulis diari. Memang aku terus menulis, tapi hampir semua ingin aku jual--yang sebenarnya seret juga, sebagian enggak jelas nasibnya. Aku berharap besar pada awalnya, tapi ternyata enggak laku-laku. Meskipun puas, dalam hati aku bilang bahwa menulis seperti itu terlalu banyak pamrihnya. Tapi gimana lagi, aku ingin dapat sesuatu dari sana.

Membaca The Book of Disquiet membuat aku merasa seperti itulah harus bila aku menulis: jujur, berani bilang apa saja, tegas, tulus. Antara hati dan kepala sepakat.
Aku membatin, andai aku lepas tanggung jawab dari kewajiban untuk cari nafkah, mungkin seperti inilah yang ingin aku lakukan. Menulis tanpa pamrih, santai, menikmati sore yang cerah (atau hujan sekalipun), ngopi, abai pada persoalan-persoalan luar dari diriku. Keluarga jelas merupakan persoalan dalam diriku, sebab ia bagian dalam diriku.

Ceritanya hari ini anak-anak Jendela Ide mengadakan shooting untuk acara Cita-citaku di Trans 7; Ilalang ikut ke sana. Para orangtua juga pada datang seperti biasa. Tapi kali ini mbak Marintan meminta kami semua jadi bagian dari pertunjukan, bersorak-sorai, tepuk tangan, bersuit-suit, menyemangati anak-anak yang main. Suasana jadi gembira, banyak tawa, ceria. Selama anak-anak dengan semangat main musik, bergerak, meloncat-loncat, mengadakan pertunjukan, orangtua jadi penonton yang bersemangat.
Acara di rumah mbak Marintan ini katanya merupakan ujung dari cerita shooting mereka. Kalau menurut kang Mehonk, dalam kisah itu ceritanya Digun, Hilmy, dan Gilang bercita-cita jadi pemain perkusi yang bagus. Mereka main ke beberapa tempat komunitas musik perkusi, lantas ujungnya mengadakan pertunjukan dengan teman-teman satu kelompoknya, Jendela Ide Kids Percussions.



Aku sendiri rasanya sudah lama sekali nggak pernah ke daerah ini. Mungkin terakhir kali aku ke sini yang waktu ke rumah paman Ilham atau lebih lama lagi, ke rumah mas Taufik Rahzen, persis di bagian atas daerah mbak Marintan. Tadinya juga Ubing dan Shanti mau ikut; tapi hujan. Sejujurnya, repotnya pergi bareng sekeluarga ialah soal ongkos angkot yang terasa mahal. Sebenarnya, ongkos itu murah; tapi kalau enggak terjangkau, ya tetaplah mahal. Segala yang tidak terbeli itu artinya mahal. Ah, Wartax, berhenti merusak hari kamu yang sebenarnya menyenangkan.[]19:51