Showing posts with label Berbagi Ilmu Penulisan. Show all posts
Showing posts with label Berbagi Ilmu Penulisan. Show all posts
Tuesday, November 09, 2010
Energi Menulis: Dari Mana Datangnya?
---Anwar Holid
Penulis punya pengalaman khas masing-masing yang menyebabkan mereka mampu bertahan untuk menghasilkan karya.
Kita lihat misalnya Jamal berlatar belakang seni rupa; dulu Clara Ng menerbitkan buku sendiri; Veven SP Wardhana terinspirasi fakta sejarah; Anjar sudah "mengandung" kisah dalam novel Beraja sejak 2000; sementara Djenar Maesa Ayu sejak awal kemunculannya konsisten membawa subjek seksualitas dari beragam aspek.
Tujuh tahun lalu aku dengar seorang peserta diskusi bertanya kepada Djenar Maesa Ayu kenapa kebanyakan ceritanya bertema seks. Dia menjawab, "Barangkali karena saya suka seks ya?" Ada kejujuran di sana, dan itu jadi salah satu pokok dalam proses menulis. "Kalau tidak jujur waktu menulis, buat apa karya itu?" dia balik tanya. Karena inti menulis ialah mengungkapkan perasaan secara kreatif, melepaskan gagasan, mencari pengakuan, sejumlah orang berpijak pada sesuatu yang sangat dekat dengan dirinya. Itulah hal yang dapat mereka ungkapkan dengan tepat dan tegas. Penulis harus tahu persis yang dihadapi dan ditulisnya.
Kenapa sejumlah orang memilih menulis fiksi? "Sebab dalam fiksi segala kemungkinan ada," jawab Veven. Ada dunia imajinasi dalam diri manusia atau angan-angan maha luas yang coba mereka isi dengan upaya pencarian makna. Di sana mereka mencari kemungkinan untuk memenuhi kebutuhan manusia akan pelampiasan emosi, mental, maupun spiritual setelah lelah menghadapi alam fisikal yang kering, sukar berkompromi, bahkan kerap dipenuhi kebohongan. Jamal mendapat kenikmatan menulis fiksi karena dia mampu mereka-reka jalan hidup seseorang, menentukan nasib tokoh ciptaannya. Rupanya keinginan berperan bebas sebagai Tuhan (playing God) memotivasi Jamal dalam berkreasi.
Karena ada keinginan bermain-main dengan bahasa, jelas para penulis harus kreatif melakukan sejumlah eksplorasi literer. Perhatikan frasa "matahari malam hari" pada judul Centeng karya Veven. Apa frasa tersebut terkesan janggal atau malah membangkitkan rasa penasaran para pembaca? Clara Ng menjuduli novelnya Tujuh Musim Setahun, dan itu membuat orang terangsang untuk bertanya-tanya: di manakah tempat yang punya tujuh musim dalam setahun? Atau dia ingin menggunakan perlambang untuk mengungkapkan sesuatu secara khusus?
Permainan bahasa menunjukkan bahwa manusia memiliki dinamika dalam komunikasi dan persisten mencari kemungkinan baru. Misal, sebagian pengguna bahasa Indonesia masih merasa asing dengan kata "beraja", padahal sebenarnya bisa ditemukan di berbagai kamus bahasa Indonesia yang otoritatif. Anjar, seorang novelis tinggal di Bandung, dalam hal ini berusaha mengingatkan bahwa kita memiliki kekayaan bahasa luar biasa. Memang, demi menjaga dan mengembangkan bahasa, kita berutang banyak kepada penulis. Merekalah yang secara sinambung membangkitkan lagi kata yang lama dilupakan atau mencoba menciptakan kemungkinan makna dengan inovasi, menempuh cara ungkap berbeda yang sebelumnya di luar imajinasi generasi terdahulu.
Fiksi memiliki logika sendiri. Segila-gilanya imajinasi dalam fiksi, penulis biasanya tetap merujuk pada sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan. Ada alasan masuk akal kenapa sebuah dunia dalam ceritanya bisa berlangsung secara ajaib atau di luar nalar. Kekayaan pengetahuan, kedekatan dengan seseorang, atau subjek yang mereka kuasai, juga latar belakang kehidupan, biasanya kerap dirujuk untuk menjelaskan bahwa sejumlah peristiwa, percakapan, dan kejadian dapat ditelusuri jejak-jejaknya. Dalam novelnya, Clara Ng perlu menulis halaman bibliografi untuk membuktikan dirinya menolak berspekulasi tanpa dasar eksperimen yang pernah dilakukan orang lain, baik itu ilmuwan, sejarahwan, dan kritikus. Jamal melampirkan biografi filsuf Soren Kierkegaard dalam novelnya. Kini ada banyak novel yang ditambahi catatan kaki---baik yang sama-sama fiktif ataupun faktual.
Di luar latar belakang dan subjek karya, para penulis otomatik memberi pelajaran tentang proses dan kesabaran. Menurut pengakuan Clara Ng, total sekitar empat tahun dia habiskan untuk mewujudkan Tujuh Musim Setahun. Sebelum jadi novel, naskah itu awalnya berupa catatan berserak baik di kertas, komputer, juga ingatan. Dia mencoba menyimpan iktikad itu sekuat tenaga, memelihara, menjaga agar tak lenyap, bahkan ketika proses penciptaan terhenti oleh banyak hal. Sujinah, penulis In a Jakarta Prison, tak menyerah menulis meski di penjara tanpa proses pengadilan lebih dari lima belas tahun lamanya karena alasan politik. Dia menjadikan karya sebagai kesaksian atas hidupnya yang getir, keras, penuh perjuangan dan idealisme.
Pada dasarnya upaya menulis sebuah karya merupakan proses berlanjut. Pengorbanan waktu dan energi untuk menyelesaikannya membutuhkan kesabaran luar biasa. Berproses lebih dari dua tahun demi menunggu kelahiran buku tentu belum bisa dihadapi setiap orang dengan mudah. Anjar membuktikan dia berhasil melewati masa sejak awal persemaian hingga memetik buah atas bukunya. Ada sejumlah karya yang baru bisa terbit setelah bertahun-tahun kesulitan menemukan penerbit.
Di awal abad ke-21 para penulis berdesak-desakan muncul ke ranah sastra dan industri perbukuan. Generasi terbaru juga beruntung dapat menikmati kemajuan teknologi dan beragam media ekspresi. Dunia penerbitan tambah dinamik meramaikan khazanah sastra Indonesia. Di luar media cetak umum, banyak penulis melatih kemampuan dan eksperimentasi melalui internet, blog, Facebook, situs pribadi, termasuk Twitter. Energi menulis mereka meluap-luap secara luar biasa, gagasannya kadang-kadang tak tertampung sarana umum, dan eksplorasinya menarik untuk diperhatikan.
Bagi sejumlah orang, energi menulis bisa jadi tak pernah terbayang kapan akan muncul dan menggerakkan proses kreatif. Namun belajar dari banyak penulis, kita tahu proses itu ialah gabungan antara tekad besar, proses menciptakan, dan upaya memenangi pertarungan melawan keragu-raguan.[]
Note: Versi ini merupakan revisi dari yang aku tulis pada Rabu, 28 Mei 2003.
Anwar Holid, penulis buku Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis.
KONTAK: wartax@yahoo.com | http://halamanganjil.blogspot.com
Copyright © 2010 oleh Anwar Holid
Monday, August 23, 2010
[Esai]
Penulis sebagai Petani
---Anwar Holid
Mungkin karena pekerjaan sampingan ayahku bertani, aku sering mengibaratkan penulis sebagai petani. Di sela-sela kerja utamanya sebagai guru dan kepala sekolah dasar, di desanya ayahku punya satu-dua bidang tanah yang dia garap untuk ditanami berbagai tumbuhan. Sekarang, aset terbesarnya ialah sepetak kebun jati yang batangnya baru sebesar badan anak berumur sepuluh tahunan. Dulu, di satu ladang dia menanam jagung, di ladang lain ada singkong atau rambutan. Di lain waktu, dia menanam padi, kelapa dan pisang---dua tumbuhan ini bisa dikatakan berbuah abadi dan senantiasa ada di kebunnya.
Bekerja sebagai petani butuh tenaga fisik cukup besar. Pada beberapa kasus, lahan pertanian bisa berada di tempat yang sulit dijangkau dan cukup berbahaya, misalnya di lereng gunung, tempatnya jauh, di bibir jurang, atau di tanah itu banyak batu besar berserakan. Kita harus menyiangi, membersihkan dari tanaman lain yang mungkin mengganggu dan mengambil jatah makan, menyirami, memupuki (dari membeli tentu saja!), dan terus memperhatikan perkembangannya. Siapa tahu, tanpa muncul gejala lebih dulu, mendadak hama menyerang, atau entah dari mana asalnya tiba-tiba tananam itu diserang penyakit. Meski baik-baik dipelihara, bisa saja tanaman itu mati begitu saja tanpa sebab jelas. Kejadian menjengkelkan seperti itu bisa terjadi dalam berbagai taraf, mulai dari yang ringan, jamak, bisa diatasi, hingga berupa gagal panen ditambah kerusakan alam. Seberapa sering kita mendengar berhektar-hektar sawah terendam, kekeringan, atau diserbu belalang dan tikus, membuat petani merugi besar-besaran. Sia-sialah usahanya berbulan-bulan memelihara dan berharap panen. Kalau petani itu beriman, dia akan berserah diri dan mengadukan nasib pada Tuhan; sadar betapa kejayaan dan kejatuhan itu bagian dari kehidupan. Tapi bila si petani kurang sabar, mungkin dia akan menyalahkan alam dan memaki Tuhan.
Dari ayah, aku belajar jadi petani itu pada dasarnya bisa cukup fleksibel, namun harus punya bekal memadai sebelum dan selama memelihara tanaman. Meski mungkin bisa kalau belajar dulu, ayahku belum pernah menanam vanili, cokelat, bengkuang, atau berkebun bunga. (Kakek & nenekku justru sudah lama berkebun cokelat). Bisa jadi dia tak tertarik menanam itu semua, tapi bisa jadi karena tanahnya kurang cocok untuk tanaman tersebut atau dia buta cara menanam maupun memanfaatkannya, misal ke mana harus menjual, bagaimana mengolah, atau menggunakannya. Maka sejauh ini dia menanam yang paling dia kuasai. Menjelang pensiun, ayahku belajar dua hal baru: memelihara kambing dan membuat kolam untuk ditanami ikan. Dia sukses memelihara ikan, bisa membuat mereka tumbuh besar, dan memanennya; tapi cukup gagal memelihara kambing. Dua dari tiga anak kambingnya mati dengan segera.
Di Lembang, Jawa Barat, ada petani bunga, sayur-mayur, dan jamur. Meskipun bertetangga, tidak masing-masing dari mereka bisa menanam tiga jenis tanaman itu secara berganti-gantian. Artinya, petani bunga bisa akan makin tahu dan ahli dengan bunganya, dan mungkin tak akan pernah menanam jamur, meskipun harganya bisa jadi menggiurkan. Sebaliknya, di antara petani jamur itu ada yang tadinya berasal dari kota. Mereka menjual rumah dan tanah, kemudian pindah ke Lembang, sudah belajar dan tahu cara menanam jamur, hingga kemudian sukses menjadi petani jamur, baik dengan memasok jamur ke hotel dan pasar khusus, maupun langsung ke pasar umum.
Dari petani, kita belajar untuk mengenal dulu karakter tanaman sebelum dipelihara, cara mengurus, dan konsisten terhadap tanaman tersebut. Tujuannya, agar ke depan, kita makin ahli menanamnya. Petani gladiol akan makin kenal perilaku bunga andalannya bila dia bergumul bertahun-tahun dan mempelajari cara menghadapi bunga tersebut. Aku pernah dengar seorang peternak kelinci berkata bahwa binatang itu mirip dengan manusia. Dalam hal apa misalnya? Kalau salah makan, ia akan mencret dan sakit. Kalau cuaca dingin, mereka lebih suka bergumul agar mendapat kehangatan. Kalau kepanasan mereka lebih suka diam dan istirahat.
Kalau kehidupan petani itu kita tarik dalam kehidupan penulis, kejadiannya sedikit-banyak cukup mirip dan bisa dibandingkan. Sebagian penulis hanya bisa menulis jenis tertentu. Seorang wartawan bisa jadi gagal kalau diminta menulis novel. Meskipun ada beberapa wartawan yang lancar juga menulis novel, misalnya Seno Gumira Ajidarma dan Akmal Nasery Basral. Pilihan antara mau jadi spesialis atau generalis bisa jadi pelik dan fleksibel, tergantung kebutuhan dan faktor kreatif. Sebagian penulis hanya bisa menulis fiksi, hanya mampu menggubah puisi, menulis naskah drama, menyusun proposal, menciptakan teks iklan, menulis memoar, atau menjadi scriptwriter. Tapi mungkin pada akhirnya seorang penulis ingin dikenal di satu-dua bidang tertentu yang di situ dia ahli dan cukup dihormati karya-karyanya, dan sebaliknya, publik juga mudah mengidentifikasi kehadiran dan karyanya. Kita lebih mengidentifikasi Ignatius Haryanto sebagai jurnalis dalam arti umum, dan punya integritas di sana, padahal ia juga produktif menulis buku dengan beragam tema atau memiliki perhatian besar dalam persoalan analisis wacana.
Kalau dilatih dan diusahakan, seorang penulis kemungkinan besar akan mampu menulis segala jenis tulisan. Asal persiapan dan ilmunya cukup, penulis pasti akan bisa menulis novel, berita, buku, memoar, opini, dan lain sebagainya. Kemampuan untuk menguasainya bisa dilatih dan dipelajari---apalagi ditambah jargon "kreatif" dalam dunia penulisan. Tinggal persoalannya ialah apa dia mau, merasa mampu, atau bahkan merasa bagus dan berwenang (otoritatif) untuk menulis subjek tersebut. Contoh, aku pernah mengajukan proposal penulisan buku biografi grup U2. Editor penerbit bersangkutan menolak usul itu karena amat ragu bakal ada orang Indonesia yang mau beli biografi tersebut bila yang menulis adalah aku, sebab aku bukan siapa-siapa di kancah jurnalisme musik. Alasan dia masuk akal. Tapi mungkin juga karena aku cukup punya pengalaman menulis biografi, dulu ada sebuah penerbit yang menawari aku agar bersiap-siap untuk menjadi ghost writer bagi Nazril Irham! Tapi sayang rencana itu abortif. (Kalau sukses, kata temanku kemarin, mungkin aku bisa mendapat 32 video yang kini dihebohkan orang-orang.) Bisa jadi Anda mampu menulis puisi, tapi kalau tak ada yang mengakui kemampuan itu, bisa jadi lama-lama Anda akan putus asa.
Di novel The Ghost Writer, Robert Harris menceritakan seorang penulis yang mampu beralih subjek sesuai pesanan karakter klien, mulai dari sepakbola, musik, film, maupun politik. Kemampuan itu cukup mirip dengan petani yang bisa fleksibel menanam berbagai tumbuhan---orang biasa menjuluki petani seperti itu "bertangan dingin." Dalam kasusku, aku sudah beberapa kali berhasil menulis tentang subjek yang sangat jauh dari perhatian utamaku. Meski cukup sukar, bukankah itu merupakan bukti bahwa bila kita mengeluarkan kemampuan maksimal dan berusaha keras, kerja tersebut mampu membuahkan hasil---apalagi ada ahli yang memeriksa, memberi masukan, dan menilai apa yang kita lakukan sudah benar atau belum. Tentu pembaca umum silakan menilai sendiri atau menyangsikan tingkat keberhasilan tersebut; apa tulisan tersebut bermanfaat atau sekadar mengulang informasi basi. Tentu baik-baik saja bila Anda memilih satu subjek sebagai pilihan karir, bahkan sangat mungkin ke depan Anda akan makin dalam dan hebat menguasainya.
Setelah berlatih, berusaha kreatif dan inovatif, mencurahkan tenaga dan perasaan sehebat mungkin, terus menghasilkan karya, belum tentu hasilnya sesuai harapan penulis. Bisa jadi tulisan itu gagal, ditolak penerbit, disangsikan teman dekat, diabaikan pembaca, harus diperbaiki di sana-sini sampai membuat penulis kepayahan, batal terbit, tetap dianggap sebagai main-main, atau paling parah manuskrip karya itu hilang, dicuri, dan tak kembali lagi. Itulah gagal panen bagi penulis. Apa itu merupakan upaya sia-sia?
Ada dua hal yang bisa dilakukan penulis kalau ia gagal panen. Pertama, mengubah strategi menulis; kedua pindah ke bidang lain yang memungkinkan dirinya lebih sukses.
Kalau menulis hanya membuat orang sengsara, tersiksa, terabaikan.... tinggalkan saja. Beralihlah ke bidang lain yang bisa membuat kita berhasil. Menulis hanyalah salah satu aktivitas dari kehidupan yang begitu ramai ini. Kalau orang memaksakan diri masuk ke sana dan membuatnya sakit; aku lebih suka menyarankannya berhenti dan memasuki dunia yang lebih mudah buat dia. Seorang kawan menasihati: "Ketika kegagalan datang beruntun di bidang yang sama, itu tanda waktu kita buat 'mendengar.' Sering kita lebih sibuk 'bicara' lewat karya, tapi kedodoran dalam 'mendengar' persepsi orang lain tentang karya itu, padahal merekalah pasar dari karya kita." Kadang-kadang menulis itu merupakan satu-satunya dunia yang bisa dimasuki seseorang, maka dia habis-habisan untuk memperjuangkan karyanya.
Tentu lain soal kalau kita mendapati penulis bertipe seperti Emily Dickinson atau John Kennedy Toole; keduanya menulis sesuai idealitas sendiri yang agak lain dengan kecenderungan umum zamannya. Meski semasa hidup tulisannya redup, dianggap tiada, gagal terbit... baru setelah meninggal bisa terbit, masyarakat luas segera tercerahkan dan sadar betapa hebat karya itu. Itulah penulis yang berkarya dengan keyakinan dan keuletan diam-diam, bahwa dia harus berkarya seperti itu. Keduanya pantang menyerah hanya karena semasa hidup tulisannya dianggap gagal dan ia secara fisik, finansial, dan emosi sia-sia menikmati buah yang ia pelihara. Namun toh akhirnya karya itu berkembang dan bersinar, mewangi di kemudian hari. Moralnya, kalau kita yakin bahwa kita punya misi untuk menulis sesuatu, lakukanlah sebaik mungkin. Dengan izin Tuhan karya itu akan abadi dan bisa dinikmati umat manusia kapan saja. Sudah banyak bukti dari cerita tentang penulis seperti itu. Di dunia pertanian, ada jenis petani yang dianggap aneh karena cara bercocok tanamnya unik dan butuh bertahun-tahun untuk meyakinkan publik bahwa cara seperti itu bisa diterima dan lebih selamat bagi alam.
Ada cerita seorang penulis senior datang ke penerbit menawarkan naskah. Setelah melihat dan membaca karya itu, editor menilai bahwa karya bapak itu serius, berat, segmented, bakal sedikit pembaca yang mau beli. Dia berkata, "Pak, tulisan bapak bagus, mendalam, berat, namun tetap cukup enak dinikmati. Sayangnya, kalau kami terbitkan naskah bapak, tak akan ada orang yang mau beli buku itu. Pasarnya terlalu kecil. Sekarang kami tawarkan, bagaimana kalau bapak menulis tema-tema yang kami butuhkan? Dengan kemampuan bapak yang hebat dan sudah terlatih, saya yakin bapak bisa menulis tema yang kami butuhkan, pasarnya cukup besar, dan sedang banyak dicari pembaca." Mula-mula bapak ini keberatan karena ia harus menulis sesuatu yang bukan intensitasnya atau temanya kurang dia sukai. Tapi setelah berhasil diyakinkan, akhirnya dia mau mencoba. Hasilnya? Karya-karya dia bisa terbit dan laku di pasar. Penerbit dan penulis sama-sama senang dan menang. Apa arti dari karya-karya dia yang ditolak? Mari kita anggap itu sebagai latihan melemaskan saraf menulis dan latihan intelektual. Paling buruk, karya itu suatu ketika bakal jadi artifak yang akan ditemukan arkeolog atau peneliti arsip. Bayangkan kalau bapak itu menolak permintaan editor; dia harus mencari-cari terus penerbit yang cocok dengan naskah itu. Mungkin hingga sekarang dia akan berstatus "penulis yang sedang berjuang." Kalau seorang petani terus-terusan gagal dengan tanaman yang telah dia pelajari baik-baik karakter dan cara pemeliharaannya, mungkin saatnya dia harus ganti tanaman. Kalau dia gagal menanam semua tumbuhan yang pernah dicobanya, mungkin dia memang tak berbakat jadi petani. Beralihlah dia mengoptimalkan bakat dan kemampuan lain dalam dirinya, misalnya berdagang atau jadi tukang.
Roy Peter Clark, seorang guru penulisan dari Amerika Serikat, lebih suka mengibaratkan penulis sebagai tukang kayu. Karena itu dia menyatakan bahwa penulis butuh perabot daripada aturan. Dalam Writing Tools, dia menyebut lima puluh perabot terpenting bagi penulis---dimasukkan ke dalam empat kotak besar---yang bisa digunakan untuk menciptakan tulisan hebat dan bermanfaat. Tukang kayu bertugas menciptakan benda-benda bermanfaat bagi penggunanya, termasuk memperbaiki bila benda-benda itu rusak. Jadi selain mula-mula membayangkan akan jadi apa kayu-kayu yang ada di tangannya, ia harus bisa membuat benda itu sampai terwujud sempurna. Di lain kesempatan, kalau barang-barang itu rusak, bisa dengan cekatan memperbaikinya, tahu apa yang rusak, dan tahu persis cara mengubah atau merombak agar indah dan berfungsi sempurna.
Strategi lain yang bisa ditempuh penulis agar lebih taktis berkarya ialah dengan lebih dulu mengajukan proposal penulisan yang kira-kira potensial diterima penerbit dan asyik untuk digarap dengan penuh semangat. Melalui proposal penulisan, penulis mula-mula hanya perlu membayangkan ideal buku itu nanti seperti apa, apa isinya, bagaimana karya itu akan disajikan, bagaimana cara membuatnya jadi menarik, apa nilai lebih maupun keunggulan dari karya itu, menyebut alasan kenapa dirinya pantas menulis subjek tersebut, siapa kira-kira dan seberapa luas pangsa pasarnya. Dengan begitu, penulis hanya akan menggarap usul yang disetujui; dia bisa menghemat tenaga untuk kerja-kerja produktif yang pasti akan ada pasarnya. Selebihnya dia bisa konsentrasi dan obsesif untuk mewujudkan karya-karya ideal yang bisa dia cita-citakan.
Dulu, ayahku bukanlah petani tulen. Namun kini setelah pensiun, mungkin dia mencurahkan seluruh tenaga dan pikirannya pada ladang, tanaman, dan ternak yang dia pelihara. Dengan itulah dia mendapat tambahan penghasilan, bahkan kadang-kadang kalau perlu sesekali dia berikan juga kepada aku---satu dari tiga anaknya---atau dititipkan buat cucu-cucunya. Sebagai penulis, kadang-kadang aku gagal dan melakukan wanprestasi, tindakannya berpotensi menghancurkan reputasi; tapi sebagian lagi mampu aku selesaikan dengan baik dan mendapat kepercayaan untuk menggarap kerja baru. Aku masih punya harapan dan kemampuan sebagai penulis. Dilihat dari situ, sebenarnya aku masih bisa belajar untuk meningkatkan panen dan penghasilan, meski sesekali muncul ketakutan dalam diriku. Mungkin itu masih wajar, sepanjang kepercayaan dan optimisme akan masa depan lebih kuat dan membuat kita lebih cerdas dan kuat berusaha.[]07/25/10
Anwar Holid bekerja sebagai penulis & editor. Buku barunya ialah Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.
Saturday, August 07, 2010
Kami Memburu Naskah Potensial yang Bisa Dijual
---Anwar Holid
Kalau diberi kesempatan, naskah seperti apa yang akan kamu terbitkan? Jawabannya: aku mau menerbitkan semua buku yang aku inginkan.
Mimpi! Kenyataan tak semudah itu. Penerbit merupakan lembaga bisnis yang bertaruh dengan uang. Ia berhitung untung-rugi. Setiap penerbit punya selera dan ketentuan sendiri. Jujur, penerbit manapun lebih suka menerbitkan naskah yang sudah dijamin biaya produksinya---misal oleh penulis sendiri, pemodal, atau pihak lain yang berkepentingan---daripada harus menerbitkan naskah yang pasarnya belum jelas, butuh energi, dan biaya besar untuk balik modal. Kecenderungan ini terbukti dari banyaknya naskah pesanan, padahal editor sudah kerap memberi tahu bahwa naskahnya tidak layak dan teknik penulisannya payah. Tapi karena penerbit pasti mendapat untung tanpa perlu susah-susah menjualnya, naskah itu tetap harus terbit, bahkan kerap dirayakan dengan gegap gempita.
Buku yang terbit kadang-kadang tak ada hubungannya dengan naskah baik atau buruk. Sering penerbit hanya butuh naskah laku, yang langsung bisa meyakinkan bakal mendatangkan uang, menghasilkan bonus, terjual ratusan ribu kopi, dan memasarkannya dengan semangat. Mau naskah sebagus apa pun, semulia apa pun, kalau dinilai tak mendatangkan untung tak bakal diterbitkan. Kalau terpaksa diterbitkan, entah oleh penerbit profesional atau self-publishing, hasilnya sama saja: buku itu menumpuk bertahun-tahun, sebelum akhirnya akan dikilo ke tempat loak. Naskah bagus bisa berbeda dengan naskah laku, dan itu merupakan misteri bagi semua pemain industri perbukuan, meski penerbit terus berusaha menaklukannya.
Banyak buku yang dilecehkan sebagian pembaca ternyata laris di pasar, jadi bestseller, dicetak puluhan kali, mendatangkan untung miliaran rupiah bagi penerbit dan penulis. Penerbit kerap lebih tertarik dengan naskah yang punya potensi jadi bestseller daripada naskah yang dianggap baik. Untuk mendapat naskah bestseller penerbit bahkan berani menyewa penulis dan membayar kontan. Orang boleh saja menghina-hina sebuah buku rendah mutunya, kosong isinya, ditulis biasa saja, bahkan mungkin merupakan pseudosains utak-gatik-gatuk, tapi kalau buku itu laku, silakan gigit jari orang yang menghina-hina itu. Setiap buku laris pasti bakal ada susulannya; penerbit lain sangat ingin mendapat naskah sejenis itu. Penerbit selalu mencari momen bestseller, bagaimanapun caranya.
Kalau begitu, naskah seperti apa yang bisa terbit? Jawabannya jelas naskah yang bakal laku bila jadi buku. Jawaban ini bisa sangat beragam bentuknya, sebab penerbit punya pernyataan bisnis masing-masing---bahkan bisa tak malu-malu mengkhianati pernyataan itu. Contoh: ada penerbit yang berafiliasi dengan Islam malah menerbitkan buku tentang seorang Yahudi yang dianggap menghancurkan dunia Islam. Kenapa penerbit ini mau menerbitkannya? Karena dia ingin memetik keuntungan dari buku itu.
Naskah yang bisa menarik perhatian penerbit biasanya punya ciri sebagai berikut:
1/ Ditulis dengan rapi. Ini syarat mutlak. Selera editor biasanya langsung rusak bila melihat naskah yang terlalu banyak salah eja. Bila seleranya rusak, dia akan lebih kesulitan lagi menemukan permata dalam naskah itu. Wah, bukankah memperbaiki dan memoles kesalahan naskah itu tugas editor? Benar. Tapi penulis harus menolong diri sendiri dulu. Penulis dilarang membebankan persoalan elementer ini pada editor. Di sinilah pentingnya penulis harus berusaha mengetik secara disiplin dan akurat, kalau bisa tanpa kesalahan satu pun.
2/ Subjek (isi) tulisan itu jelas. Penulis mestinya mengusung ide tertentu yang fokus. Ia mau bicara apa? Bagaimana cara dia menyampaikan pemikiran? Kalau bertele-tele, banyak menyertakan hal irelevan, malah membuat kabur persoalan, editor bisa langsung menolak naskah itu atau mencorat-coretnya. Kalau cara penyampaiannya kurang greget, sementara ide ceritanya biasa, naskah itu akan mudah diabaikan. Sebaliknya, meski ide ceritanya biasa, namun disampaikan secara unik, atraktif, dengan sudut pandang menarik, kemungkinan besar naskah itu masih tetap bisa memikat. Isi naskah merupakan perhatian utama editor, sebab pada dasarnya itulah yang akan ia kemas menjadi buku yang bisa dijual, bisa ditawarkan kepada calon pembaca.
Jonathan Karp, seorang editor berpengalaman di Amerika Serikat, menyatakan: "Kami akan mati-matian berusaha menerbitkan buku yang luar biasa, karya penulis yang memiliki perspektif unik, otoritasnya diakui, dan mampu menarik perhatian orang. Karya yang bisa menjelaskan mengenai budaya kita. Ia mesti bisa menerangi, menginspirasi, memancing emosi pembaca, sekaligus menghibur. Pendapat, otoritas, maupun subjek buku itu harus tunggal, istimewa, luar biasa."
Noor H. Dee, editor di LPPH, berpendapat bahwa sebuah naskah pantas diterbitkan bila memiliki nilai kebaruan dan keunikan. Pembaca juga harus bisa mendapatkan manfaat dari naskah tersebut. "Saya lebih memilih naskah yang sedang hip (digemari) di pasaran, sebab trend pasar juga jadi pertimbangan saya," demikian ujarnya.
3/ Punya nilai lebih atau keunggulan yang bisa ditonjolkan. Ini berguna bila subjek bahasan penulis serupa dengan penulis lain, atau topik itu sudah dibahas banyak buku lain. Apa yang ditawarkan naskah ini, misalnya apa rahasia yang belum terungkap penulis lain, temuan baru, efektivitas, bahkan hal-hal sepele yang mungkin bisa diunggulkan sebagai nilai jual.
Contoh kasus: Isi Outliers (Malcolm Gladwell) kalau dilihat-lihat sangat klise, berisi pandangan manusia tentang kesuksesan. Buku motivasional atau how-to sudah membicarakannya dari banyak sisi. Tapi kenapa Outliers tetap bisa menonjol secara luar biasa dan jadi bestseller gila-gilaan? Bisa jadi karena dua hal: (1) teknik penulisannya hebat dan lincah sekali. (2) cara berpikir Gladwell unik dan cara dia menarik kesimpulan mengejutkan.
Carol Meyer dalam The Writer's Survival Manual menyebut ada tujuh faktor yang sering jadi pertimbangan editor dalam meloloskan naskah, yaitu:
1/ Apa naskah ini cocok dengan buku-buku terbitan sebelumnya? Apa penerbit pernah sukses dengan buku seperti ini? Kalau tidak, apa ada celah baru yang masuk akal untuk menerbitkan naskah ini? Bagaimana menjualnya?
2/ Apa subjek buku itu akan bisa dia edit dengan nyaman? Kalau harus outsource, apa biayanya terjangkau?
3/ Apa editor punya waktu untuk mengeditnya?
4/ Apa naskah itu ditulis dengan baik?
5/ Bagaimana kompetisi naskah sejenis di pasar?
6/ Apa subjek naskah itu sedang populer, membuka subjek baru, atau punya kemungkinan melahirkan trend baru?
7/ Apa penerbit sanggup membiayai ongkos produksinya?
****
Tak ada yang suci di dunia penerbitan. Sebuah naskah bisa terbit karena belasan alasan dan kondisinya macam-macam. Apalagi naskah apa pun bisa dipoles dan direvisi. Bahkan kerap terjadi naskah yang sebenarnya belum layak pun bisa dipaksa terbit bila ada pihak yang menginginkan atau mau membiayainya. Ingatlah buku-buku buruk yang pernah kita baca. Standarnya ialah asal naskah itu memenuhi syarat tertentu, masuk kategori cukup (tidak memalukan bila diterbitkan), bisa diupayakan, ada sesuatu yang ingin dikejar, maka naskah itu niscaya bakal terbit.
Sederhananya, bila editor menilai bahwa naskah yang dibacanya sudah cukup bagus, cukup yakin bahwa naskah itu punya nilai jual, ia akan meloloskan dan mengusulkan untuk diterbitkan. Kalau naskah disiapkan dengan baik, itu sudah cukup untuk menjadi bahan buku yang memadai. Perkara bestseller, siapa yang tahu. Banyak buku bestseller kualitas isinya biasa saja. Ada buku yang isinya bermutu tapi tak laku. Secara umum, Dari dulu buku bestseller itu tipikalnya sama: penulisannya populer, isinya mudah dipahami, cukup "ringan" waktu dibaca, menggugah (inspirasional), memberi wawasan yang segar, simpel, berorientasi pasar, bisa memenuhi selera umum seluas mungkin.
Kalau Anda mau menulis buku yang berpeluang jadi bestseller, menulislah secara populer dan informal. Pelajarilah cara menulis yang efektif-efisien. Belajarlah dari buku laris, bergurulah pada penulis, instruktur menulis, atau penerbit yang tergila-gila pada buku bestseller.
Salah satu faktor bestseller ialah karena buku itu ditulis oleh seorang ahli di bidang tertentu dan dia mampu menggunakan keahlian atau wawasannya sebagai basis untuk meyakinkan pembaca, bukan untuk pamer pengetahuan atau justru menonjol-nonjolkan betapa tinggi ilmunya. Alasan ini mungkin masih kabur. Konkretnya: carilah naskah karya seorang ahli di bidang tertentu, ditulis secara populer, banyak memiliki insight, dan segar, mungkin ia bakal mudah jadi buku bestseller.
Fakta ada banyak naskah yang awalnya ditolak puluhan editor, gagal diterbitkan penerbit tertentu, namun begitu diterima dan diterbitkan pihak lain ternyata mendapat pengakuan hebat di mana-mana, dikritik habis-habisan, atau akhirnya jadi bestseller mestinya membuka mata dan menyemangati penulis bahwa naskah yang baik itu pasti layak diterbitkan dan punya nilai jual. Karena itu teruslah menulis dan berkarya.
Keep your hand moving.[]
Anwar Holid bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Buku barunya yang akan terbit ialah Keep Your Hand Moving (GPU, Juli 2010). Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141
---Anwar Holid
Kalau diberi kesempatan, naskah seperti apa yang akan kamu terbitkan? Jawabannya: aku mau menerbitkan semua buku yang aku inginkan.
Mimpi! Kenyataan tak semudah itu. Penerbit merupakan lembaga bisnis yang bertaruh dengan uang. Ia berhitung untung-rugi. Setiap penerbit punya selera dan ketentuan sendiri. Jujur, penerbit manapun lebih suka menerbitkan naskah yang sudah dijamin biaya produksinya---misal oleh penulis sendiri, pemodal, atau pihak lain yang berkepentingan---daripada harus menerbitkan naskah yang pasarnya belum jelas, butuh energi, dan biaya besar untuk balik modal. Kecenderungan ini terbukti dari banyaknya naskah pesanan, padahal editor sudah kerap memberi tahu bahwa naskahnya tidak layak dan teknik penulisannya payah. Tapi karena penerbit pasti mendapat untung tanpa perlu susah-susah menjualnya, naskah itu tetap harus terbit, bahkan kerap dirayakan dengan gegap gempita.
Buku yang terbit kadang-kadang tak ada hubungannya dengan naskah baik atau buruk. Sering penerbit hanya butuh naskah laku, yang langsung bisa meyakinkan bakal mendatangkan uang, menghasilkan bonus, terjual ratusan ribu kopi, dan memasarkannya dengan semangat. Mau naskah sebagus apa pun, semulia apa pun, kalau dinilai tak mendatangkan untung tak bakal diterbitkan. Kalau terpaksa diterbitkan, entah oleh penerbit profesional atau self-publishing, hasilnya sama saja: buku itu menumpuk bertahun-tahun, sebelum akhirnya akan dikilo ke tempat loak. Naskah bagus bisa berbeda dengan naskah laku, dan itu merupakan misteri bagi semua pemain industri perbukuan, meski penerbit terus berusaha menaklukannya.
Banyak buku yang dilecehkan sebagian pembaca ternyata laris di pasar, jadi bestseller, dicetak puluhan kali, mendatangkan untung miliaran rupiah bagi penerbit dan penulis. Penerbit kerap lebih tertarik dengan naskah yang punya potensi jadi bestseller daripada naskah yang dianggap baik. Untuk mendapat naskah bestseller penerbit bahkan berani menyewa penulis dan membayar kontan. Orang boleh saja menghina-hina sebuah buku rendah mutunya, kosong isinya, ditulis biasa saja, bahkan mungkin merupakan pseudosains utak-gatik-gatuk, tapi kalau buku itu laku, silakan gigit jari orang yang menghina-hina itu. Setiap buku laris pasti bakal ada susulannya; penerbit lain sangat ingin mendapat naskah sejenis itu. Penerbit selalu mencari momen bestseller, bagaimanapun caranya.
Kalau begitu, naskah seperti apa yang bisa terbit? Jawabannya jelas naskah yang bakal laku bila jadi buku. Jawaban ini bisa sangat beragam bentuknya, sebab penerbit punya pernyataan bisnis masing-masing---bahkan bisa tak malu-malu mengkhianati pernyataan itu. Contoh: ada penerbit yang berafiliasi dengan Islam malah menerbitkan buku tentang seorang Yahudi yang dianggap menghancurkan dunia Islam. Kenapa penerbit ini mau menerbitkannya? Karena dia ingin memetik keuntungan dari buku itu.
Naskah yang bisa menarik perhatian penerbit biasanya punya ciri sebagai berikut:
1/ Ditulis dengan rapi. Ini syarat mutlak. Selera editor biasanya langsung rusak bila melihat naskah yang terlalu banyak salah eja. Bila seleranya rusak, dia akan lebih kesulitan lagi menemukan permata dalam naskah itu. Wah, bukankah memperbaiki dan memoles kesalahan naskah itu tugas editor? Benar. Tapi penulis harus menolong diri sendiri dulu. Penulis dilarang membebankan persoalan elementer ini pada editor. Di sinilah pentingnya penulis harus berusaha mengetik secara disiplin dan akurat, kalau bisa tanpa kesalahan satu pun.
2/ Subjek (isi) tulisan itu jelas. Penulis mestinya mengusung ide tertentu yang fokus. Ia mau bicara apa? Bagaimana cara dia menyampaikan pemikiran? Kalau bertele-tele, banyak menyertakan hal irelevan, malah membuat kabur persoalan, editor bisa langsung menolak naskah itu atau mencorat-coretnya. Kalau cara penyampaiannya kurang greget, sementara ide ceritanya biasa, naskah itu akan mudah diabaikan. Sebaliknya, meski ide ceritanya biasa, namun disampaikan secara unik, atraktif, dengan sudut pandang menarik, kemungkinan besar naskah itu masih tetap bisa memikat. Isi naskah merupakan perhatian utama editor, sebab pada dasarnya itulah yang akan ia kemas menjadi buku yang bisa dijual, bisa ditawarkan kepada calon pembaca.
Jonathan Karp, seorang editor berpengalaman di Amerika Serikat, menyatakan: "Kami akan mati-matian berusaha menerbitkan buku yang luar biasa, karya penulis yang memiliki perspektif unik, otoritasnya diakui, dan mampu menarik perhatian orang. Karya yang bisa menjelaskan mengenai budaya kita. Ia mesti bisa menerangi, menginspirasi, memancing emosi pembaca, sekaligus menghibur. Pendapat, otoritas, maupun subjek buku itu harus tunggal, istimewa, luar biasa."
Noor H. Dee, editor di LPPH, berpendapat bahwa sebuah naskah pantas diterbitkan bila memiliki nilai kebaruan dan keunikan. Pembaca juga harus bisa mendapatkan manfaat dari naskah tersebut. "Saya lebih memilih naskah yang sedang hip (digemari) di pasaran, sebab trend pasar juga jadi pertimbangan saya," demikian ujarnya.
3/ Punya nilai lebih atau keunggulan yang bisa ditonjolkan. Ini berguna bila subjek bahasan penulis serupa dengan penulis lain, atau topik itu sudah dibahas banyak buku lain. Apa yang ditawarkan naskah ini, misalnya apa rahasia yang belum terungkap penulis lain, temuan baru, efektivitas, bahkan hal-hal sepele yang mungkin bisa diunggulkan sebagai nilai jual.
Contoh kasus: Isi Outliers (Malcolm Gladwell) kalau dilihat-lihat sangat klise, berisi pandangan manusia tentang kesuksesan. Buku motivasional atau how-to sudah membicarakannya dari banyak sisi. Tapi kenapa Outliers tetap bisa menonjol secara luar biasa dan jadi bestseller gila-gilaan? Bisa jadi karena dua hal: (1) teknik penulisannya hebat dan lincah sekali. (2) cara berpikir Gladwell unik dan cara dia menarik kesimpulan mengejutkan.
Carol Meyer dalam The Writer's Survival Manual menyebut ada tujuh faktor yang sering jadi pertimbangan editor dalam meloloskan naskah, yaitu:
1/ Apa naskah ini cocok dengan buku-buku terbitan sebelumnya? Apa penerbit pernah sukses dengan buku seperti ini? Kalau tidak, apa ada celah baru yang masuk akal untuk menerbitkan naskah ini? Bagaimana menjualnya?
2/ Apa subjek buku itu akan bisa dia edit dengan nyaman? Kalau harus outsource, apa biayanya terjangkau?
3/ Apa editor punya waktu untuk mengeditnya?
4/ Apa naskah itu ditulis dengan baik?
5/ Bagaimana kompetisi naskah sejenis di pasar?
6/ Apa subjek naskah itu sedang populer, membuka subjek baru, atau punya kemungkinan melahirkan trend baru?
7/ Apa penerbit sanggup membiayai ongkos produksinya?
****
Tak ada yang suci di dunia penerbitan. Sebuah naskah bisa terbit karena belasan alasan dan kondisinya macam-macam. Apalagi naskah apa pun bisa dipoles dan direvisi. Bahkan kerap terjadi naskah yang sebenarnya belum layak pun bisa dipaksa terbit bila ada pihak yang menginginkan atau mau membiayainya. Ingatlah buku-buku buruk yang pernah kita baca. Standarnya ialah asal naskah itu memenuhi syarat tertentu, masuk kategori cukup (tidak memalukan bila diterbitkan), bisa diupayakan, ada sesuatu yang ingin dikejar, maka naskah itu niscaya bakal terbit.
Sederhananya, bila editor menilai bahwa naskah yang dibacanya sudah cukup bagus, cukup yakin bahwa naskah itu punya nilai jual, ia akan meloloskan dan mengusulkan untuk diterbitkan. Kalau naskah disiapkan dengan baik, itu sudah cukup untuk menjadi bahan buku yang memadai. Perkara bestseller, siapa yang tahu. Banyak buku bestseller kualitas isinya biasa saja. Ada buku yang isinya bermutu tapi tak laku. Secara umum, Dari dulu buku bestseller itu tipikalnya sama: penulisannya populer, isinya mudah dipahami, cukup "ringan" waktu dibaca, menggugah (inspirasional), memberi wawasan yang segar, simpel, berorientasi pasar, bisa memenuhi selera umum seluas mungkin.
Kalau Anda mau menulis buku yang berpeluang jadi bestseller, menulislah secara populer dan informal. Pelajarilah cara menulis yang efektif-efisien. Belajarlah dari buku laris, bergurulah pada penulis, instruktur menulis, atau penerbit yang tergila-gila pada buku bestseller.
Salah satu faktor bestseller ialah karena buku itu ditulis oleh seorang ahli di bidang tertentu dan dia mampu menggunakan keahlian atau wawasannya sebagai basis untuk meyakinkan pembaca, bukan untuk pamer pengetahuan atau justru menonjol-nonjolkan betapa tinggi ilmunya. Alasan ini mungkin masih kabur. Konkretnya: carilah naskah karya seorang ahli di bidang tertentu, ditulis secara populer, banyak memiliki insight, dan segar, mungkin ia bakal mudah jadi buku bestseller.
Fakta ada banyak naskah yang awalnya ditolak puluhan editor, gagal diterbitkan penerbit tertentu, namun begitu diterima dan diterbitkan pihak lain ternyata mendapat pengakuan hebat di mana-mana, dikritik habis-habisan, atau akhirnya jadi bestseller mestinya membuka mata dan menyemangati penulis bahwa naskah yang baik itu pasti layak diterbitkan dan punya nilai jual. Karena itu teruslah menulis dan berkarya.
Keep your hand moving.[]
Anwar Holid bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Buku barunya yang akan terbit ialah Keep Your Hand Moving (GPU, Juli 2010). Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141
Wednesday, November 18, 2009
Berbagi Ilmu Penulisan
---Anwar Holid
Writing is a journey to the unknown.
--Charlie Kaufman
Selama tiga bulan terakhir ini saya menjadi guru workshop penulisan di sebuah yayasan di Bandung. Workshop tersebut berlangsung tiap Sabtu, akan berakhir pada Sabtu, 20 November 2009 nanti, ditandai dengan acara nonton bareng film tentang penulis---kami masih menimbang apa akan nonton tentang Beatrix Potter atau Harvey Pekar. Sekitar dua bulan sebelumnya saya juga menjadi instruktur kelas serupa di visikata.com. Namun karena gagal berkomitmen, saya mengundurkan diri dua minggu sebelum program tersebut akan selesai.
Sebenarnya saya enggan menjadi guru, sebab kemampuan pedagogi saya boleh dibilang nol. Yang lebih membuat saya suka ialah pengalaman berbagi dengan para peserta. Momen itu sangat berharga, dari sanalah saya bisa menyerap ilmu dan pengetahuan milik orang lain. Lepas dari kekurangan sebagai instruktur menulis, entah kenapa saya bersemangat sekali ingin merenung setelah workshop itu selesai. Ada apa dengan kemampuan menulis? Ini bisa jadi sangat terkait dengan kebiasaan baca juga.
Agak mengherankan ada peserta yang ikut pada pertemuan pertama, tapi setelah itu tak pernah muncul kembali. Atau sebaliknya, awalnya tampak bersemangat, menunggu-nunggu, bahkan janji akan terus hadir selama masa workshop, tapi begitu dimulai tak sekali pun batang hidupnya tampak. Ada juga yang persis tahu workshop sedang berlangsung, tapi ternyata dia memilih aktivitas lain. Kejadian ini membuktikan ternyata tak semua niat kuat itu akhirnya terlaksana. Ini mirip dengan sesal sebagian orang yang gagal membaca tumpukan buku, meskipun dia semangat berniat menghabisinya, tapi waktunya ternyata habis buat kerja dan merokok, sementara sampul bukunya terus tertutup rapat. Bisa jadi kemampuan retorika saya buruk dan ilmu saya cetek, jadi gagal menjadi guru menulis dengan pesona seperti magnet dan mampu memikat banyak peserta. Tapi bagaimana lagi, justru dengan berbagi ilmu itulah saya pun mendapat pengetahuan baru.
Kejutan lain ialah ternyata ada peserta yang benar-benar mengaku tidak bisa menulis apa-apa (blank), bingung cara memulainya, meskipun dia merasa ada sesuatu di dalam kepalanya yang ingin ia tumpahkan. Seseorang mengaku baru bisa menulis bila ada pendapat yang merangsang pengetahuannya, jadi tulisannya merupakan respons dan sumber polemik. Ada lagi peserta lain yang tampak mampu menulis, punya banyak pemikiran dan pendapat, berpengalaman membaca banyak literatur, namun merasa tidak punya waktu untuk menulis, dan Tuhan tampak belum menakdirkannya untuk menulis. Dia percaya sebagian penulis memang sengaja diberi waktu khusus untuk menulis, seperti Buya Hamka yang baru bisa menulis tafsir Al Quran ketika di penjara. Teman saya ini mengaku kehabisan waktu menulis karena kegiatannya tersita untuk mengurus warung. Dia agak yakin bahwa sebagian karya tulis itu seolah-olah lahir dari keadaan "terpaksa" kalau bukan memang sudah dirancang seperti itu. Dugaan ini benar. Sejumlah buku atau karya tulis tampaknya tidak lahir dari tangan, tetapi dari mulut pengarangnya. Contoh terkemuka dari "menulis" model ini ialah ribuan puisi Jalaluddin Rumi, yang konon lahir begitu saja dari ucapan beliau ketika dalam keadaan ekstase spiritual. Para muridnya yang mendengar itu langsung "mengikat puisi itu" dengan mencatatnya. Di Bandung, keprolifikan Jalaluddin Rakhmat salah satunya berkat rutinitas ceramah mingguan di masjid samping rumahnya. Koleganya---kalau bukan putranya sendiri---lantas mentranskripsi sekaligus mengedit hasil ceramah dan tanya jawab itu menjadi sejumlah buku dengan tema tertentu. The Autobiography of Malcolm X awalnya merupakan penuturan Malcolm X kepada penulis Alex Haley, dan akhirnya menjadi buku monumental. Jelaslah bahwa buku tidak mesti lahir dari tulisan atau ketikan, ia juga bisa lahir dari rekaman dan ucapan.
Belajar dari pengalaman, saya cukup percaya bahwa menulis berawal dari kebiasaan yang diteguhkan lewat disiplin. Kebiasaan bisa jadi bermula dari keberanian. Saya juga yakin bahwa menulis merupakan keahlian (kemampuan) yang bisa dipelajari. "Kamu hanya butuh alat, bukan aturan," demikian tegas Roy Peter Clark dalam bukunya Writing Tools. Alat menulis ialah bahasa dan seluruh unsurnya, alat untuk menyampaikan pesan dan luapan pesan sepenuh perasaan dan tepat seperti keinginan kita. Saya berpegang bahwa awal menulis bisa dipicu dengan adagium KEEP YOUR HAND MOVING dari Natalie Goldberg. Meski Alfathri Adlin, seorang teman saya, bilang yang lebih mendasar ialah KEEP YOUR MIND THINKING. Itu benar. Menulis maupun membaca merupakan keterampilan yang harus dipelajari manusia. Ia bukan bawaan orok. Dulu kita semua buta huruf dan buta menulis. Baru setelah belajar a-b-c, kita jadi bisa menyampaikan pesan lewat pernyataan.
Jadi lebih dari sekadar bisa menulis dengan baik, orang ingin mewujudkan isi kepala jadi tulisan persis sesuai keinginannya. Mungkin itu sebabnya sebagian mahasiswa heran kenapa dia pernah bisa menulis paper atau skripsi, tapi bingung dengan isinya, atau tulisan itu betul-betul buruk sampai malu bila harus dibaca kembali. Ini persis kata Joe Elliot, vokalis Def Leppard, yang pernah berseloroh begini: "Saya harus mabuk dulu kalau mau mendengarkan album pertama kami." Orang bisa geleng-geleng kenapa dahulu dia bisa menulis secara ajaib---baik bagus ataupun buruk. Penulis hanya perlu mengakui bahwa itu memang karyanya. Setelah itu lupakan atau lanjutkan. Kehidupan jalan terus, pikiran lain mendesak, emosi perlu diluapkan.
Selama workshop, saya menyadari bahwa mayoritas peserta sebenarnya sudah punya kebiasaan dan kemampuan menulis yang bagus, berani berekspresi dan bereksperimen, punya kebiasaan menulis yang hebat, bahkan sebagian dari mereka sudah berprestasi, misalnya memenangi sayembara penulisan. Sebagian orang punya blog yang rutin dia isi dan ternyata jadi favorit banyak orang. Bila dia menulis, tanggapan orang bersahut-sahutan. Peserta lain jadi redaktur buletin internal yayasan. Saya pikir itu tanda bahwa mereka telah jadi penulis. Di sisi lain ada juga teman yang masih ragu untuk berani mengirimkan tulisan ke media massa semata-mata dia merasa pemikirannya bertentangan dengan arus utama saat itu, meskipun argumennya kuat dan jelas. Fenomena ini muncul berbagai kesempatan workshop penulisan yang pernah saya hadiri. Jadi apa kekurangan mereka? Yang paling utama ialah mereka buta akan aturan umum (standar) menulis yang berlaku di media massa atau digunakan oleh penerbit yang bagus. Ini lebih dari sekadar menguasai EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) dengan baik, melainkan menulis secara efektif, hemat, fokus, tegas, langsung pada sasaran. Menguasai EYD tentu bisa membuat tulisan kita rapi, tapi belum menjamin tulisan kita "bernyawa" dan punya "suara" sendiri, yang kuat, mampu mempesona pembaca dari awal sampai akhir.
Ini persis kriteria Hetih Rusli terhadap tokoh cerita yang kuat. "Yang terpenting ialah meniupkan nyawa ke dalam diri si tokoh. Tokoh tersebut harus hidup, bergerak, dan bernapas pada saat kita membacanya. Si tokoh harus hidup dalam bentuk tiga dimensi di benak pembaca, bukan cuma tertulis di atas kertas." Hal serupa berlaku pada tulisan nonfiksi. Feature profil orang dan biografi hebat pasti punya tokoh yang mengesankan.
Wajar kalau begitu banyak orang mampu menulis namun dia heran sendiri kenapa tulisannya diabaikan orang lain atau ditolak media massa. Perhatikan blog, zine, atau media tertentu lain. Mereka suka menulis suka-suka, sehendak hati, tak peduli apa orang lain kesulitan dengan cara berbahasanya. Ini membuktikan sebenarnya menulis sangat personal, khas, sesuai maksud masing-masing---sementara industri, akal sehat, kesepakatan umum, dan keinginan menyetarakan cara berpikir memunculkan standardisasi. Sejumlah orang mampu menulis di luar standar dan ternyata baik-baik saja. Saya pernah bertemu mahasiswa yang menerbitkan zine tapi buta EYD. Bagi dia yang penting ekspresinya terlampiaskan dan pikirannya tersampaikan.
Itu sebabnya saya berpendapat bahwa persoalan terbesar menulis ada pada proses editing (penyuntingan). Saat itu penulis harus berjarak dari karyanya dan tulisan mulai hendak menyapa pembaca luas. Jernihkah maksudnya? Mau apa dia dengan tulisannya? Bisakah tulisan itu dibaca? Bagaimana bahasanya? Kepaduan paragrafnya? Apa persis sesuai keinginan penulis? Adakah emosi mengalir di sana? Ketika diedit, tulisan dinegosiasikan. Saya pernah menghabiskan empat kali pertemuan hanya untuk membahas editing satu karya sebelum penulisnya benar-benar siap mengirimnya ke media massa. Apalagi saya ternyata bukan tipe editor killer yang tega main babat kalimat kabur tanpa diskusi lebih dulu. Di fase inilah berkah lain muncul, yaitu saya jadi membuka-buka rujukan baru. Mizan mengirimi Quantum Writer (Bobbi DePorter), dari Herry Mardian saya memfoto kopi Writing Tools (Roy Peter Clark) dan On Writing Well (William Zinsser), Ignatius Haryanto mengirimi The Quotable Book Lover (Ben Jacobs & Helena Hjalmarsson, eds.) dan Menuju Jurnalisme Berkualitas. Semua merupakan pustaka berharga.

Persoalan editing juga yang saya kemukakan kepada bang Mula Harahap waktu dia menelepon saya membicarakan sekolah tulis-menulis yang sedang dia rancang di kepalanya. "Iseng-iseng aku search tentang sekolah menulis, ternyata muncul nama kau," katanya. Wah, senangnya ditelepon senior ramah seperti dia. Sudah lama kami tak kontak.
Setelah workshop penulisan selesai, saya harus segera meneruskan order yang terbengkalai karena berhari-hari berkutat menyiapkan materi. Rekan kerja saya sampai penasaran karena saya membiarkan respons editannya. "Apa pembicaraan kita mengenai teks itu sudah berhenti? Saya harap tak ada salah paham di antara kita." Ah, tidak, jawab saya. Saya hanya sebentar teralihkan ke subjek yang juga penting untuk dikaji dengan sungguh-sungguh.
Entah kapan dan di mana lagi saya punya kesempatan berbagi ilmu penulisan.[]
Anwar Holid sehari-hari bekerja sebagai editor dan penulis, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
KONTAK: wartax@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141
Subscribe to:
Posts (Atom)