Monday, August 23, 2010


[Esai]

Penulis sebagai Petani
---Anwar Holid

Mungkin karena pekerjaan sampingan ayahku bertani, aku sering mengibaratkan penulis sebagai petani. Di sela-sela kerja utamanya sebagai guru dan kepala sekolah dasar, di desanya ayahku punya satu-dua bidang tanah yang dia garap untuk ditanami berbagai tumbuhan. Sekarang, aset terbesarnya ialah sepetak kebun jati yang batangnya baru sebesar badan anak berumur sepuluh tahunan. Dulu, di satu ladang dia menanam jagung, di ladang lain ada singkong atau rambutan. Di lain waktu, dia menanam padi, kelapa dan pisang---dua tumbuhan ini bisa dikatakan berbuah abadi dan senantiasa ada di kebunnya.

Bekerja sebagai petani butuh tenaga fisik cukup besar. Pada beberapa kasus, lahan pertanian bisa berada di tempat yang sulit dijangkau dan cukup berbahaya, misalnya di lereng gunung, tempatnya jauh, di bibir jurang, atau di tanah itu banyak batu besar berserakan. Kita harus menyiangi, membersihkan dari tanaman lain yang mungkin mengganggu dan mengambil jatah makan, menyirami, memupuki (dari membeli tentu saja!), dan terus memperhatikan perkembangannya. Siapa tahu, tanpa muncul gejala lebih dulu, mendadak hama menyerang, atau entah dari mana asalnya tiba-tiba tananam itu diserang penyakit. Meski baik-baik dipelihara, bisa saja tanaman itu mati begitu saja tanpa sebab jelas. Kejadian menjengkelkan seperti itu bisa terjadi dalam berbagai taraf, mulai dari yang ringan, jamak, bisa diatasi, hingga berupa gagal panen ditambah kerusakan alam. Seberapa sering kita mendengar berhektar-hektar sawah terendam, kekeringan, atau diserbu belalang dan tikus, membuat petani merugi besar-besaran. Sia-sialah usahanya berbulan-bulan memelihara dan berharap panen. Kalau petani itu beriman, dia akan berserah diri dan mengadukan nasib pada Tuhan; sadar betapa kejayaan dan kejatuhan itu bagian dari kehidupan. Tapi bila si petani kurang sabar, mungkin dia akan menyalahkan alam dan memaki Tuhan.

Dari ayah, aku belajar jadi petani itu pada dasarnya bisa cukup fleksibel, namun harus punya bekal memadai sebelum dan selama memelihara tanaman. Meski mungkin bisa kalau belajar dulu, ayahku belum pernah menanam vanili, cokelat, bengkuang, atau berkebun bunga. (Kakek & nenekku justru sudah lama berkebun cokelat). Bisa jadi dia tak tertarik menanam itu semua, tapi bisa jadi karena tanahnya kurang cocok untuk tanaman tersebut atau dia buta cara menanam maupun memanfaatkannya, misal ke mana harus menjual, bagaimana mengolah, atau menggunakannya. Maka sejauh ini dia menanam yang paling dia kuasai. Menjelang pensiun, ayahku belajar dua hal baru: memelihara kambing dan membuat kolam untuk ditanami ikan. Dia sukses memelihara ikan, bisa membuat mereka tumbuh besar, dan memanennya; tapi cukup gagal memelihara kambing. Dua dari tiga anak kambingnya mati dengan segera.

Di Lembang, Jawa Barat, ada petani bunga, sayur-mayur, dan jamur. Meskipun bertetangga, tidak masing-masing dari mereka bisa menanam tiga jenis tanaman itu secara berganti-gantian. Artinya, petani bunga bisa akan makin tahu dan ahli dengan bunganya, dan mungkin tak akan pernah menanam jamur, meskipun harganya bisa jadi menggiurkan. Sebaliknya, di antara petani jamur itu ada yang tadinya berasal dari kota. Mereka menjual rumah dan tanah, kemudian pindah ke Lembang, sudah belajar dan tahu cara menanam jamur, hingga kemudian sukses menjadi petani jamur, baik dengan memasok jamur ke hotel dan pasar khusus, maupun langsung ke pasar umum.

Dari petani, kita belajar untuk mengenal dulu karakter tanaman sebelum dipelihara, cara mengurus, dan konsisten terhadap tanaman tersebut. Tujuannya, agar ke depan, kita makin ahli menanamnya. Petani gladiol akan makin kenal perilaku bunga andalannya bila dia bergumul bertahun-tahun dan mempelajari cara menghadapi bunga tersebut. Aku pernah dengar seorang peternak kelinci berkata bahwa binatang itu mirip dengan manusia. Dalam hal apa misalnya? Kalau salah makan, ia akan mencret dan sakit. Kalau cuaca dingin, mereka lebih suka bergumul agar mendapat kehangatan. Kalau kepanasan mereka lebih suka diam dan istirahat.

Kalau kehidupan petani itu kita tarik dalam kehidupan penulis, kejadiannya sedikit-banyak cukup mirip dan bisa dibandingkan. Sebagian penulis hanya bisa menulis jenis tertentu. Seorang wartawan bisa jadi gagal kalau diminta menulis novel. Meskipun ada beberapa wartawan yang lancar juga menulis novel, misalnya Seno Gumira Ajidarma dan Akmal Nasery Basral. Pilihan antara mau jadi spesialis atau generalis bisa jadi pelik dan fleksibel, tergantung kebutuhan dan faktor kreatif. Sebagian penulis hanya bisa menulis fiksi, hanya mampu menggubah puisi, menulis naskah drama, menyusun proposal, menciptakan teks iklan, menulis memoar, atau menjadi scriptwriter. Tapi mungkin pada akhirnya seorang penulis ingin dikenal di satu-dua bidang tertentu yang di situ dia ahli dan cukup dihormati karya-karyanya, dan sebaliknya, publik juga mudah mengidentifikasi kehadiran dan karyanya. Kita lebih mengidentifikasi Ignatius Haryanto sebagai jurnalis dalam arti umum, dan punya integritas di sana, padahal ia juga produktif menulis buku dengan beragam tema atau memiliki perhatian besar dalam persoalan analisis wacana.

Kalau dilatih dan diusahakan, seorang penulis kemungkinan besar akan mampu menulis segala jenis tulisan. Asal persiapan dan ilmunya cukup, penulis pasti akan bisa menulis novel, berita, buku, memoar, opini, dan lain sebagainya. Kemampuan untuk menguasainya bisa dilatih dan dipelajari---apalagi ditambah jargon "kreatif" dalam dunia penulisan. Tinggal persoalannya ialah apa dia mau, merasa mampu, atau bahkan merasa bagus dan berwenang (otoritatif) untuk menulis subjek tersebut. Contoh, aku pernah mengajukan proposal penulisan buku biografi grup U2. Editor penerbit bersangkutan menolak usul itu karena amat ragu bakal ada orang Indonesia yang mau beli biografi tersebut bila yang menulis adalah aku, sebab aku bukan siapa-siapa di kancah jurnalisme musik. Alasan dia masuk akal. Tapi mungkin juga karena aku cukup punya pengalaman menulis biografi, dulu ada sebuah penerbit yang menawari aku agar bersiap-siap untuk menjadi ghost writer bagi Nazril Irham! Tapi sayang rencana itu abortif. (Kalau sukses, kata temanku kemarin, mungkin aku bisa mendapat 32 video yang kini dihebohkan orang-orang.) Bisa jadi Anda mampu menulis puisi, tapi kalau tak ada yang mengakui kemampuan itu, bisa jadi lama-lama Anda akan putus asa.

Di novel The Ghost Writer, Robert Harris menceritakan seorang penulis yang mampu beralih subjek sesuai pesanan karakter klien, mulai dari sepakbola, musik, film, maupun politik. Kemampuan itu cukup mirip dengan petani yang bisa fleksibel menanam berbagai tumbuhan---orang biasa menjuluki petani seperti itu "bertangan dingin." Dalam kasusku, aku sudah beberapa kali berhasil menulis tentang subjek yang sangat jauh dari perhatian utamaku. Meski cukup sukar, bukankah itu merupakan bukti bahwa bila kita mengeluarkan kemampuan maksimal dan berusaha keras, kerja tersebut mampu membuahkan hasil---apalagi ada ahli yang memeriksa, memberi masukan, dan menilai apa yang kita lakukan sudah benar atau belum. Tentu pembaca umum silakan menilai sendiri atau menyangsikan tingkat keberhasilan tersebut; apa tulisan tersebut bermanfaat atau sekadar mengulang informasi basi. Tentu baik-baik saja bila Anda memilih satu subjek sebagai pilihan karir, bahkan sangat mungkin ke depan Anda akan makin dalam dan hebat menguasainya.

Setelah berlatih, berusaha kreatif dan inovatif, mencurahkan tenaga dan perasaan sehebat mungkin, terus menghasilkan karya, belum tentu hasilnya sesuai harapan penulis. Bisa jadi tulisan itu gagal, ditolak penerbit, disangsikan teman dekat, diabaikan pembaca, harus diperbaiki di sana-sini sampai membuat penulis kepayahan, batal terbit, tetap dianggap sebagai main-main, atau paling parah manuskrip karya itu hilang, dicuri, dan tak kembali lagi. Itulah gagal panen bagi penulis. Apa itu merupakan upaya sia-sia?

Ada dua hal yang bisa dilakukan penulis kalau ia gagal panen. Pertama, mengubah strategi menulis; kedua pindah ke bidang lain yang memungkinkan dirinya lebih sukses.

Kalau menulis hanya membuat orang sengsara, tersiksa, terabaikan.... tinggalkan saja. Beralihlah ke bidang lain yang bisa membuat kita berhasil. Menulis hanyalah salah satu aktivitas dari kehidupan yang begitu ramai ini. Kalau orang memaksakan diri masuk ke sana dan membuatnya sakit; aku lebih suka menyarankannya berhenti dan memasuki dunia yang lebih mudah buat dia. Seorang kawan menasihati: "Ketika kegagalan datang beruntun di bidang yang sama, itu tanda waktu kita buat 'mendengar.' Sering kita lebih sibuk 'bicara' lewat karya, tapi kedodoran dalam 'mendengar' persepsi orang lain tentang karya itu, padahal merekalah pasar dari karya kita." Kadang-kadang menulis itu merupakan satu-satunya dunia yang bisa dimasuki seseorang, maka dia habis-habisan untuk memperjuangkan karyanya.

Tentu lain soal kalau kita mendapati penulis bertipe seperti Emily Dickinson atau John Kennedy Toole; keduanya menulis sesuai idealitas sendiri yang agak lain dengan kecenderungan umum zamannya. Meski semasa hidup tulisannya redup, dianggap tiada, gagal terbit... baru setelah meninggal bisa terbit, masyarakat luas segera tercerahkan dan sadar betapa hebat karya itu. Itulah penulis yang berkarya dengan keyakinan dan keuletan diam-diam, bahwa dia harus berkarya seperti itu. Keduanya pantang menyerah hanya karena semasa hidup tulisannya dianggap gagal dan ia secara fisik, finansial, dan emosi sia-sia menikmati buah yang ia pelihara. Namun toh akhirnya karya itu berkembang dan bersinar, mewangi di kemudian hari. Moralnya, kalau kita yakin bahwa kita punya misi untuk menulis sesuatu, lakukanlah sebaik mungkin. Dengan izin Tuhan karya itu akan abadi dan bisa dinikmati umat manusia kapan saja. Sudah banyak bukti dari cerita tentang penulis seperti itu. Di dunia pertanian, ada jenis petani yang dianggap aneh karena cara bercocok tanamnya unik dan butuh bertahun-tahun untuk meyakinkan publik bahwa cara seperti itu bisa diterima dan lebih selamat bagi alam.

Ada cerita seorang penulis senior datang ke penerbit menawarkan naskah. Setelah melihat dan membaca karya itu, editor menilai bahwa karya bapak itu serius, berat, segmented, bakal sedikit pembaca yang mau beli. Dia berkata, "Pak, tulisan bapak bagus, mendalam, berat, namun tetap cukup enak dinikmati. Sayangnya, kalau kami terbitkan naskah bapak, tak akan ada orang yang mau beli buku itu. Pasarnya terlalu kecil. Sekarang kami tawarkan, bagaimana kalau bapak menulis tema-tema yang kami butuhkan? Dengan kemampuan bapak yang hebat dan sudah terlatih, saya yakin bapak bisa menulis tema yang kami butuhkan, pasarnya cukup besar, dan sedang banyak dicari pembaca." Mula-mula bapak ini keberatan karena ia harus menulis sesuatu yang bukan intensitasnya atau temanya kurang dia sukai. Tapi setelah berhasil diyakinkan, akhirnya dia mau mencoba. Hasilnya? Karya-karya dia bisa terbit dan laku di pasar. Penerbit dan penulis sama-sama senang dan menang. Apa arti dari karya-karya dia yang ditolak? Mari kita anggap itu sebagai latihan melemaskan saraf menulis dan latihan intelektual. Paling buruk, karya itu suatu ketika bakal jadi artifak yang akan ditemukan arkeolog atau peneliti arsip. Bayangkan kalau bapak itu menolak permintaan editor; dia harus mencari-cari terus penerbit yang cocok dengan naskah itu. Mungkin hingga sekarang dia akan berstatus "penulis yang sedang berjuang." Kalau seorang petani terus-terusan gagal dengan tanaman yang telah dia pelajari baik-baik karakter dan cara pemeliharaannya, mungkin saatnya dia harus ganti tanaman. Kalau dia gagal menanam semua tumbuhan yang pernah dicobanya, mungkin dia memang tak berbakat jadi petani. Beralihlah dia mengoptimalkan bakat dan kemampuan lain dalam dirinya, misalnya berdagang atau jadi tukang.

Roy Peter Clark, seorang guru penulisan dari Amerika Serikat, lebih suka mengibaratkan penulis sebagai tukang kayu. Karena itu dia menyatakan bahwa penulis butuh perabot daripada aturan. Dalam Writing Tools, dia menyebut lima puluh perabot terpenting bagi penulis---dimasukkan ke dalam empat kotak besar---yang bisa digunakan untuk menciptakan tulisan hebat dan bermanfaat. Tukang kayu bertugas menciptakan benda-benda bermanfaat bagi penggunanya, termasuk memperbaiki bila benda-benda itu rusak. Jadi selain mula-mula membayangkan akan jadi apa kayu-kayu yang ada di tangannya, ia harus bisa membuat benda itu sampai terwujud sempurna. Di lain kesempatan, kalau barang-barang itu rusak, bisa dengan cekatan memperbaikinya, tahu apa yang rusak, dan tahu persis cara mengubah atau merombak agar indah dan berfungsi sempurna.

Strategi lain yang bisa ditempuh penulis agar lebih taktis berkarya ialah dengan lebih dulu mengajukan proposal penulisan yang kira-kira potensial diterima penerbit dan asyik untuk digarap dengan penuh semangat. Melalui proposal penulisan, penulis mula-mula hanya perlu membayangkan ideal buku itu nanti seperti apa, apa isinya, bagaimana karya itu akan disajikan, bagaimana cara membuatnya jadi menarik, apa nilai lebih maupun keunggulan dari karya itu, menyebut alasan kenapa dirinya pantas menulis subjek tersebut, siapa kira-kira dan seberapa luas pangsa pasarnya. Dengan begitu, penulis hanya akan menggarap usul yang disetujui; dia bisa menghemat tenaga untuk kerja-kerja produktif yang pasti akan ada pasarnya. Selebihnya dia bisa konsentrasi dan obsesif untuk mewujudkan karya-karya ideal yang bisa dia cita-citakan.

Dulu, ayahku bukanlah petani tulen. Namun kini setelah pensiun, mungkin dia mencurahkan seluruh tenaga dan pikirannya pada ladang, tanaman, dan ternak yang dia pelihara. Dengan itulah dia mendapat tambahan penghasilan, bahkan kadang-kadang kalau perlu sesekali dia berikan juga kepada aku---satu dari tiga anaknya---atau dititipkan buat cucu-cucunya. Sebagai penulis, kadang-kadang aku gagal dan melakukan wanprestasi, tindakannya berpotensi menghancurkan reputasi; tapi sebagian lagi mampu aku selesaikan dengan baik dan mendapat kepercayaan untuk menggarap kerja baru. Aku masih punya harapan dan kemampuan sebagai penulis. Dilihat dari situ, sebenarnya aku masih bisa belajar untuk meningkatkan panen dan penghasilan, meski sesekali muncul ketakutan dalam diriku. Mungkin itu masih wajar, sepanjang kepercayaan dan optimisme akan masa depan lebih kuat dan membuat kita lebih cerdas dan kuat berusaha.[]07/25/10

Anwar Holid bekerja sebagai penulis & editor. Buku barunya ialah Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.

4 comments:

Hilmy Nugraha said...

Aku pernah dengar seorang peternak kelinci berkata bahwa manusia itu mirip dengan manusia


ndak salah nih mas?

Anwar Holid said...

oh, iya, itu salah ketik. makasih atas perhatian dan kejelian mas hilmy. kemarin sehabis posting aku periksa, ternyata itu salah.

yang benar: ...bahwa binatang itu mirip dengan manusia.

Hilmy Nugraha said...

aku jadi editornya mas anwar!
cihui!

hehe..

kapan lagi ngeditin editor.
:D

Anwar Holid said...

:D

aku selalu senang kok kalau dikasih tahu kekurangan tulisanku seperti apa. selalu butuh masukan dari orang lain, sebab kita sendiri pasti mudah silap mata.