Tuesday, May 28, 2013

Korupsi dan Diri Sendiri
--Anwar Holid

Mendengar hasil korupsi banyak orang, jumlah nominal yang mereka keruk, harta-benda yang berhasil disita petugas antikorupsi, uang dan barang hasil korupsi yang dikembalikan ke petugas negara, jumlah kerugian negara atau harta dalam sengketa, kita akan segera sadar betapa nilainya terlalu luar biasa untuk dibayangkan seberapa besar sebenarnya kekayaan yang sia-sia. Contoh korupsi Luthfi Hasan Ishaaq berbentuk mobil mewah, rumah mewah, juga uang berjumlah sangat mewah. Mobil itu sekarang nganggur, rumahnya kosong ditinggalkan, dan uangnya (entah di bank atau di suatu tempat) teronggok jadi cuman lembaran kertas. Enggak bernilai karena enggak kepakai. Bukankah uang baru berguna kalau dibelanjakan, termasuk untuk belanja seks?

Kalau organisasi seperti Partai Keadilan Sejahtera meradang bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi tebang pilih, kita bisa balik membantah bahwa para koruptor bukan Robin Hood. Bahkan mereka lain dari mafia yang punya pandangan berbeda tentang cara usaha dan kode etik. Robin Hood jantan mengaku bahwa dia merampok dan berbuat jahat terhadap orang yang jauh lebih kejam dengan cara sistematik dan dilegalkan. Robin Hood sedikit menyulitkan kita berpendapat dia baik atau jahat karena membagikan hasil rampokannya pada orang miskin tanpa pandang bulu. Sementara orang seperti Ahmad Fathanah cuma mendistribusikan hasil kejahatannya kepada perempuan yang bisa melampiaskan kepuasan hasrat seksualnya dan pada laki-laki tertentu yang dinilai menguntungkan posisi dan bisa diajak kerja sama. Padahal karena dia tahu ajaran Islam, ada dalam lingkaran orang berpendidikan, disebut pengusaha-politisi-ulama, pasti dia tahu siapa yang harusnya dimakmurkan. Coba kalau dia menebar uang untuk rakyat jelata yang tertindas dan tak bisa berbuat apa-apa, menghapus kemiskinan, mengurangi besar-besaran orang yang jualan di pinggir jalan semrawut di lapak-lapak jelek, mungkin banyak yang mendukungnya. Ini enggak. Dia berbuat sebaliknya. Wajar banyak orang sinis atas kelakuan dan sikap mereka, persis karena perbuatannya lain dengan jargon dan image yang mereka bangun. Bukannya minta maaf atau mengakui skandal yang mereka perbuat dan menyilakan aparat negara membuktikan di mana letak kesalahan mereka.

Dipikir-pikir, alangkah sia-sia hasil korupsi. Bayangkan aja, Luthfi Hasan Ishaaq kan seorang Muslim, terdidik, mantan presiden Partai Keadilan Sejahtera pula. Tentu dia khatam Al-Quran, tahu ajaran moral Islam, hapal ayat mana untuk sedekah, kewajiban berbuat baik kepada kaum miskin, kekurangan, pengangguran, berderma, menyantuni anak yatim, memakmurkan kaum dan bangsanya. Kenapa dia malah seperti itu? Dengan pencapaian dan prestasinya, dia malah menumpuk, mengolah, dan mengantongi kekayaan untuk diri sendiri dan konco-konconya. Hidup bermewah-mewahan, berlebih-lebihan. Boro-boro kepikiran hidup sederhana seperti nabi-nabi agamanya.

Tapi ya... sederhana itu apa sih? Aku nanya nelangsa. Aku terkadang merasa terkelabui oleh niat hidup sederhana, apa lagi kalau dibandingin dengan kesulitan finansial, masih suka dibantu orang lain, dan mereka pun tampak iba padaku, juga dengan keinginan atau target yang mau aku capai. Pertolongan dari teman-temanku saja suka membuat aku nangis dan sungkan.

Beberapa minggu lalu aku ditanya seorang psikolog: Apa keinginanmu yang belum tercapai? Aku jawab: Aku belum bisa bikin asuransi pendidikan untuk anak bungsuku (6 th.) juga bikin asuransi jiwa untuk seluruh keluarga batihku. Padahal di dalam hatiku sebenarnya mau teriak berbagai keinginan yang sejak awal 2013 aku catat di notes:
  • Aku mau netbook dengan performa tinggi.
  • Aku mau punya kamera dslr.
  • Aku mau sepeda yang keren.
  • Aku mau beli emas perkawinan sebagai ganti yang dulu digadai dan gagal ditebus.

Anjrittttt!!!! Empat keinginan itu saja enggak ada sederhananya sama sekali! Semua kontras dengan idealisme kesederhanaan dalam diriku. Apa lagi kalau dibandingkan orang yang bekerja kepayahan di bawah terik matahari, tanpa perlindungan, tanpa ruang kerja nyaman, badannya bau tengik, mencari nafkah di pinggir tumpukan sampah yang busuk, bareng tikus, kucing, dan anjing liar, tanpa jaminan sosial, tanpa jaminan pertemanan dengan orang hebat, keren, dan berada semacam Angelina Sondakh, Susno Duadji, atau Anas Urbaningrum. Begitu banyak orang yang bekerja jauh lebih keras, tapi bernasib lebih buruk, hidup lebih miskin dan sederhana daripada aku, cari nafkah enggak jelas dan lebih sedikit hasilnya. Kita tahu, ada pekerjaan sangat berat yang dibayar begitu murah, sementara ada pekerjaan yang tampak ringan malah dibayar edan-edanan. Itulah orang sederhana sebenarnya. Mereka bukan pilihan buat cuci uang dari orang kaya, berkuasa, dan enggak punya pengaman jaring sosial seperti para koruptor. Apa sederhana cuma cocok buat orang awam dan bodoh?

Yah, orang bisa langsung menangkis, SEDERHANA TIDAK IDENTIK DENGAN MISKIN! Baik. Sederhana itu tricky. Tapi lapar itu nyata. Orang bisa menghabiskan uang untuk kawinan 913 juta rupiah dan masih bisa bilang itu sederhana, sementara ada orang nyaris putus asa menagih 1,9 juta rupiah atas kerja kerasnya sampai lebih dari enam bulan. Bagi orang insensitif, barangkali sederhana tampak menipu, padahal ia sublim.

Tapi ya, coba aku yang korupsi dan melakukan skandal itu. Aku mungkin akan berbuat serupa: membela diri, ngotot, menyembunyikan atau malah membuang bukti, berusaha berkelit, membantah, marah, balik menuduh, menyalahkan orang dan pihak lain, atau sekalian menyeret dan menghancurkan sesama tertuduh.

Katakanlah suatu hari aku ketahuan korupsi atau tertangkap basah berzina. Aku digerebek dan mereka menggertak, "Heh, kamu korupsi ya?"
"Enggak! Enak aja kamu nuduh."
"Lha ini ada uang buktinya apa!?"
"Itu bukan punyaku."
"Kok ada di sini?"
"Itu lupa dibawa tamuku tadi."
"Halah, kamu juga lagi zina ya?"
"Enggak! Jangan sembarangan kamu bilang!"
"Kok ada perempuan lagi telanjang di sini?"
"Dia lagi coba baju kurung sutera pemberianku!"

Anjrittttt!!!!

Terbayang kalau aku adalah bagian sosialita para koruptor dan penguasa yang memegang, mengelola dana dan anggaran luar biasa berlimpah uang, mungkin aku juga akan berperilaku serupa. Segala keyakinan soal sederhana, iman, spiritualitas, agama, Tuhan, barangkali jadi tai kucing. Asam seperti busa ludah anyir. Padahal ada adagium: orang hebat membicarakan ide. Sekarang lihat kelakuan orang hebat dengan ide mereka soal kesejahteraan, keadilan, kewarganegaraan, dan kesetaraan hukum. Mungkin aku cuma akan menganggap harta itu sebagai prestasi, hasil kelihaian, paduan antara leadership, jago negosiasi dan lobi, ditambah karisma yang membuat orang lain grogi. Dengar kesaksikan orang di sekitar mereka, betapa baik koruptor itu. Mereka suka memberi secara mengejutkan, menyumbang besar-besaran, memberi hadiah barang mewah, membekali cek milyaran, mengirim bonus tanpa diduga. Sementara penerimanya terpana, senang, bersyukur, bangga menerima, menganggap itu rezeki dari Tuhan. Padahal itu semua hasil kejahatan. Tanyalah pada diri sendiri, sebelum kembali berprasangka pada perempuan maupun laki-laki yang dihadiahi barang-barang mewah dan berharga oleh para koruptor.

Ah, kayaknya notes ini gagal fokus, tapi mungkin bisa jelas melampiaskan apa.[]

Anwar Holid, kerja sebagai editor/penulis/publisis.

Ilustrasi dari Internet.

Link terkait:
Sederhana Seperti Apa?