Tuesday, November 09, 2010
Energi Menulis: Dari Mana Datangnya?
---Anwar Holid
Penulis punya pengalaman khas masing-masing yang menyebabkan mereka mampu bertahan untuk menghasilkan karya.
Kita lihat misalnya Jamal berlatar belakang seni rupa; dulu Clara Ng menerbitkan buku sendiri; Veven SP Wardhana terinspirasi fakta sejarah; Anjar sudah "mengandung" kisah dalam novel Beraja sejak 2000; sementara Djenar Maesa Ayu sejak awal kemunculannya konsisten membawa subjek seksualitas dari beragam aspek.
Tujuh tahun lalu aku dengar seorang peserta diskusi bertanya kepada Djenar Maesa Ayu kenapa kebanyakan ceritanya bertema seks. Dia menjawab, "Barangkali karena saya suka seks ya?" Ada kejujuran di sana, dan itu jadi salah satu pokok dalam proses menulis. "Kalau tidak jujur waktu menulis, buat apa karya itu?" dia balik tanya. Karena inti menulis ialah mengungkapkan perasaan secara kreatif, melepaskan gagasan, mencari pengakuan, sejumlah orang berpijak pada sesuatu yang sangat dekat dengan dirinya. Itulah hal yang dapat mereka ungkapkan dengan tepat dan tegas. Penulis harus tahu persis yang dihadapi dan ditulisnya.
Kenapa sejumlah orang memilih menulis fiksi? "Sebab dalam fiksi segala kemungkinan ada," jawab Veven. Ada dunia imajinasi dalam diri manusia atau angan-angan maha luas yang coba mereka isi dengan upaya pencarian makna. Di sana mereka mencari kemungkinan untuk memenuhi kebutuhan manusia akan pelampiasan emosi, mental, maupun spiritual setelah lelah menghadapi alam fisikal yang kering, sukar berkompromi, bahkan kerap dipenuhi kebohongan. Jamal mendapat kenikmatan menulis fiksi karena dia mampu mereka-reka jalan hidup seseorang, menentukan nasib tokoh ciptaannya. Rupanya keinginan berperan bebas sebagai Tuhan (playing God) memotivasi Jamal dalam berkreasi.
Karena ada keinginan bermain-main dengan bahasa, jelas para penulis harus kreatif melakukan sejumlah eksplorasi literer. Perhatikan frasa "matahari malam hari" pada judul Centeng karya Veven. Apa frasa tersebut terkesan janggal atau malah membangkitkan rasa penasaran para pembaca? Clara Ng menjuduli novelnya Tujuh Musim Setahun, dan itu membuat orang terangsang untuk bertanya-tanya: di manakah tempat yang punya tujuh musim dalam setahun? Atau dia ingin menggunakan perlambang untuk mengungkapkan sesuatu secara khusus?
Permainan bahasa menunjukkan bahwa manusia memiliki dinamika dalam komunikasi dan persisten mencari kemungkinan baru. Misal, sebagian pengguna bahasa Indonesia masih merasa asing dengan kata "beraja", padahal sebenarnya bisa ditemukan di berbagai kamus bahasa Indonesia yang otoritatif. Anjar, seorang novelis tinggal di Bandung, dalam hal ini berusaha mengingatkan bahwa kita memiliki kekayaan bahasa luar biasa. Memang, demi menjaga dan mengembangkan bahasa, kita berutang banyak kepada penulis. Merekalah yang secara sinambung membangkitkan lagi kata yang lama dilupakan atau mencoba menciptakan kemungkinan makna dengan inovasi, menempuh cara ungkap berbeda yang sebelumnya di luar imajinasi generasi terdahulu.
Fiksi memiliki logika sendiri. Segila-gilanya imajinasi dalam fiksi, penulis biasanya tetap merujuk pada sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan. Ada alasan masuk akal kenapa sebuah dunia dalam ceritanya bisa berlangsung secara ajaib atau di luar nalar. Kekayaan pengetahuan, kedekatan dengan seseorang, atau subjek yang mereka kuasai, juga latar belakang kehidupan, biasanya kerap dirujuk untuk menjelaskan bahwa sejumlah peristiwa, percakapan, dan kejadian dapat ditelusuri jejak-jejaknya. Dalam novelnya, Clara Ng perlu menulis halaman bibliografi untuk membuktikan dirinya menolak berspekulasi tanpa dasar eksperimen yang pernah dilakukan orang lain, baik itu ilmuwan, sejarahwan, dan kritikus. Jamal melampirkan biografi filsuf Soren Kierkegaard dalam novelnya. Kini ada banyak novel yang ditambahi catatan kaki---baik yang sama-sama fiktif ataupun faktual.
Di luar latar belakang dan subjek karya, para penulis otomatik memberi pelajaran tentang proses dan kesabaran. Menurut pengakuan Clara Ng, total sekitar empat tahun dia habiskan untuk mewujudkan Tujuh Musim Setahun. Sebelum jadi novel, naskah itu awalnya berupa catatan berserak baik di kertas, komputer, juga ingatan. Dia mencoba menyimpan iktikad itu sekuat tenaga, memelihara, menjaga agar tak lenyap, bahkan ketika proses penciptaan terhenti oleh banyak hal. Sujinah, penulis In a Jakarta Prison, tak menyerah menulis meski di penjara tanpa proses pengadilan lebih dari lima belas tahun lamanya karena alasan politik. Dia menjadikan karya sebagai kesaksian atas hidupnya yang getir, keras, penuh perjuangan dan idealisme.
Pada dasarnya upaya menulis sebuah karya merupakan proses berlanjut. Pengorbanan waktu dan energi untuk menyelesaikannya membutuhkan kesabaran luar biasa. Berproses lebih dari dua tahun demi menunggu kelahiran buku tentu belum bisa dihadapi setiap orang dengan mudah. Anjar membuktikan dia berhasil melewati masa sejak awal persemaian hingga memetik buah atas bukunya. Ada sejumlah karya yang baru bisa terbit setelah bertahun-tahun kesulitan menemukan penerbit.
Di awal abad ke-21 para penulis berdesak-desakan muncul ke ranah sastra dan industri perbukuan. Generasi terbaru juga beruntung dapat menikmati kemajuan teknologi dan beragam media ekspresi. Dunia penerbitan tambah dinamik meramaikan khazanah sastra Indonesia. Di luar media cetak umum, banyak penulis melatih kemampuan dan eksperimentasi melalui internet, blog, Facebook, situs pribadi, termasuk Twitter. Energi menulis mereka meluap-luap secara luar biasa, gagasannya kadang-kadang tak tertampung sarana umum, dan eksplorasinya menarik untuk diperhatikan.
Bagi sejumlah orang, energi menulis bisa jadi tak pernah terbayang kapan akan muncul dan menggerakkan proses kreatif. Namun belajar dari banyak penulis, kita tahu proses itu ialah gabungan antara tekad besar, proses menciptakan, dan upaya memenangi pertarungan melawan keragu-raguan.[]
Note: Versi ini merupakan revisi dari yang aku tulis pada Rabu, 28 Mei 2003.
Anwar Holid, penulis buku Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis.
KONTAK: wartax@yahoo.com | http://halamanganjil.blogspot.com
Copyright © 2010 oleh Anwar Holid
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
4 comments:
kata Pram, menulis itu pekerjaan abadi.
nah, kata hilmy nugraha sendiri, menulis itu apa? :)
makasih sudah baca tulisan sederhana ini!
menurut saya mas,
menulis itu
membekukan ide,
menumpahkan gagasan,
menuangkan pikiran,
melampiaskan perasaan,
melepaskan beban
menulis itu terapi.
wah, jawaban hebat nih. aku kutip ya. inspiratif soalnya.
makasih banget!
Post a Comment