Showing posts with label penulisan fiksi. Show all posts
Showing posts with label penulisan fiksi. Show all posts

Monday, January 06, 2014


Cerita Pendek

Makhluk Fiktif
--Utomo Priyambodo

Di suatu senja yang jingga, empat makhluk fiktif tengah terlibat dalam diskusi hangat yang cukup menguras pikiran dan perasaan. Tempo diskusi mereka sungguh begairah dan cepat. Makhluk-makhluk itu bukanlah jin atau makhluk gaib lainnya. Mereka sebenar-benarnya makhluk fiktif yang tercipta dalam kisah-kisah fiksi yang juga bukanlah cerita gaib atau sejenisnya. Empat makhluk itu adalah Sukab, Markum, Si Dali, dan Tarmujo. Mereka tengah asyik dan serius membahas masa depan.

Telinga mereka mendengar isu bahwa mereka berempat akan dihidupkan menjadi sebenar-benarnya makhluk nyata, makhluk non-fiktif. Mereka akan menjalani kisah-kisah nyata. Mereka akan hidup dalam dunia yang juga nyata.

“Jadi kita akan hidup seperti manusia?”
“Lho bukankah kita memang manusia?”
“Jelmaan manusia. Bukan manusia seutuhnya. Kita bisa hidup hanya bila kita dihidupkan. Kita juga bisa mati seketika dan bisa dihidupkan kembali seketika juga. Itu semua tergantung tuan-tuan kita.”
“Ah membingungkan.”
“Mengapa kita tidak bunuh diri saja sejak dulu kalau begitu? Toh sekarang ini hidup kita tak ada harganya.”
“Kata siapa? Aku merasa hidupku berharga. Tuanku Seno Gumira selalu menyelipkan pesan sosial dalam kisah-kisah hidupku. Orang-orang yang membaca kisah hidupku bisa tergugah karenanya,” bantah Sukab.
“Aku juga merasa hidupku berharga kok,” timpal Markum. “Tuanku Zaenal Radar biasa menyuarakan realitas masyarakat kelas bawah dalam kisah-kisah hidupku. Aku merasa hidupku berharga. Aku merasa seperti wakil rakyat bagi orang-orang kecil itu,” lanjut Markum.
“Aku juga merasa berharga kok. Tuanku A.A. Navis biasa menyelipkan pesan moral dalam kisah-kisah hidupku. Banyak kearifan dan hikmah yang bisa didapatkan orang yang menyimak kisah-kisah hidupku,” Si Dali ikut bersuara.
“Kenapa kau bisa berpikiran bahwa hidupmu tidak berharga, Jo?” tanya Sukab terang-terangan, sangat to the point.
Tarmujo diam sebentar. Ia tidak langsung menjawabnya.
“Kenapa kau bisa berpikiran seperti itu, Jo?” tanya Sukab lagi.
Tarmujo menghela napasnya. “Aku tidak punya kehidupan sendiri. Sebab aku merasa tidak punya identitas mandiri. Aku merasa tidak punya kepribadian tetap. Aku merasa seperti Billy yang memiliki 24 wajah kepribadian atau bahkan lebih apabila nanti jumlah kisahku lebih dari itu. Dan itu rasanya aneh sekali.”
“Kau punya kepribadian, Jo. Kepribadianmu mencerminkan kepribadian tuanmu. Apabila ada sosokmu dalam sebuah cerita, orang-orang akan tahu itu adalah kisah yang dibuat oleh tuanmu. Karakter cerita-cerita itu menjadi kepribadian tuanmu. Berarti itu kepribadianmu juga. Kepribadian tuanmu menjadi kepribadianmu.”
Tarmujo tidak begitu mengerti. Tapi rasanya penjelasan Si Dali tadi terdengar masuk akal. Sukab dan Markum terlihat manggut-manggut seperti ikut sepakat.
“Kembali ke topik. Jadi apa benar kita semua akan dihidupkan?” Sukab meluruskan.
“Ah aku ragu dengan kabar burung itu. Tapi apabila benar kita akan dihidupkan aku malah jadi bingung apa yang akan aku lakukan ketika nanti hidup,” ujar Markum.
“Ya, apa pun. Semaumu. Terserah, kau bisa melakukan apa saja,” jelas Sukab.
“Tapi apakah nanti yang akan aku lakukan bisa bermakna atau bermanfaat juga bagi orang lain? Aku khawatir bila nanti ternyata aku menjadi tak lebih bermanfaat dibanding ketika aku masih menjadi makhluk fiktif seperti sekarang ini.” Raut wajah Markum kelabu.
“Kenapa khawatir seperti itu? Ketika kehendak kita hanya ada di tangan tuan-tuan kita, kita bisa bermanfaat bagi orang lain. Lha kalau kita sudah punya kehendak bebas sendiri, mestinya kita bisa menjadi lebih bermanfaat lagi toh untuk orang lain? Kita kan bisa menghendaki diri kita sendiri untuk bisa menjadi sangat bermanfaat bagi orang lain,” terang Sukab lagi.
“Eh, ini kok rasa-rasanya seperti konsep tentang  manusia dan malaikat,” ucap Si Dali. “Malaikat tak punya kehendak bebas, tapi semua dari mereka menjadi terjaga dan mulia. Manusia punya kehendak bebas, tapi akhirnya kebanyakan mereka justru jadi lebih hina daripada para malaikat. Tapi ada juga sebagian manusia yang bisa mengarahkan kehendak bebasnya untuk menjadi orang yang bermakna dan bermanfaat sehingga menjadi lebih mulia daripada malaikat. Nah itu tantangannya.”
“Ah aku ingin tetap menjadi makhluk fiktif saja. Aku tidak mau justru menjadi lebih hina,” kata Tarmujo.
“Kenapa kau takut begitu, Jo? Kalau kau bisa mengarahkan kehendak bebasmu dengan benar, kan kamu bakal baik-baik saja.” Sukab heran.
“Ah, iya kamu pesimis sekali, Jo. Kau pun gampang berubah pikiran,” timpal Si Dali. “Hidup itu harus dijalani dengan berani. Kalau tidak begitu, kita tidak akan bisa mengubah nasib kita sekarang ini.”
“Tadi kan kau sendiri yang bilang kalau kau lebih ingin punya kehendak sendiri, Jo?” ingat Sukab lagi.
“Ah, kurasa yang aku inginkan sebelumnya itu tidak lebih baik daripada yang sebenarnya telah kumiliki sekarang ini,” jawab Tarmujo. “Biarlah kehendakku ada di tangan tuanku. Kurasa ia bisa menentukan mana hal-hal baik yang bisa kuberikan lewat kisah-kisah hidupku.”
“Kau tidak ingin hidup dengan sebenar-benarnya hidup, Jo?”
“Aku ingin. Tapi lebih baik aku menjalani yang memang sudah takdirku. Biarlah aku tetap menjadi makhluk fiktif, bukan makhluk nyata. Lagi pula, apabila nanti aku menjadi makhluk nyata, belum tentu kisah-kisah hidupku akan dituliskan juga dalam buku yang bisa dibaca banyak orang.”
“Kau nanti bisa menuliskannya sendiri, Jo. Kau kan nanti punya kehendak bebas sendiri.”
“Ah, narsis sekali itu, bung!”
“Kalau begitu minta saja orang lain terdekatmu untuk menuliskan kisah hidupmu.”
“Apa bedanya?”
“Kalau kau menjadi orang hebat, pasti banyak orang yang ingin mengetahui kisah hidupmu. Maka itu, dengan kehendak bebasmu nanti, jadilah orang hebat.”
“Eh, sebenarnya kisah hidup setiap manusia itu dituliskan juga lho dalam kitab lauhul mahfudz,” potong Si Dali.
“Kitab apa itu, Dali?” tanya Tarmujo penasaran.
“Kau belum tahu, Jo? Itu kitab yang akan menuliskan segala perilaku manusia yang baik ataupun buruk. Tiap manusia punya satu kitab untuk kisah hidupnya itu. Dan kelak mereka harus mempertanggungjawabkan kisah hidupnya itu di hari kiamat.”
“Wah, ngeri juga ya. Ada LPJ-nya,” celoteh Markum.
“LPJ?” Tarmujo bingung.
“Iya, laporan pertanggungjawaban. Seperti panitia acara yang mesti memberikan laporan tanggung jawab ke pihak sponsor yang memberi mereka dana.”
“Tapi manusia kan enggak dikasih dana oleh siapa-siapa?”
“Kata siapa? Manusia kan diberikan banyak sumber daya. Organ tubuh mereka, akal pikiran mereka, kekayaan mereka, umur mereka, dan lain-lainnya. Semakin banyak sumber daya yang mereka punya, semakin besar tanggung jawab mereka,” jelas Si Dali.
“Tanggung jawabnya ke Tuhan mereka?”
“Ya, siapa lagi?”
“Kalau kita makhluk-makhluk fiktif ini, tanggung jawabnya kepada siapa?”
“Kepada tuan-tuan kita ya, Dali?” potong Markum.
“Bukan. Kita ini tidak punya keharusan untuk tanggung jawab kepada siapa-siapa. Sebab tuan-tuan kitalah yang menguasai kehendak kita. Maka tuan-tuan kitalah yang mesti tanggung jawab atas segala perilaku kita, atas segala kisah-kisah hidup kita. Apabila kisah-kisah hidup kita dapat memberikan pencerahan banyak orang, tuan-tuan kita dianggap telah berbuat baik. Tapi apabila kisah-kisah hidup kita justru menjerumuskan banyak orang, berarti tuan-tuan kita telah berbuat buruk.”
“Oh begitu, Dali.”
“Mantap sudah. Aku ingin tetap menjadi makhluk fiktif saja,” ujar Tarmujo yakin. “Aku tak perlu tanggung jawab kepada siapa-siapa.”
“Aku juga, Dali,” Markum ikut menimpali.
“Kau Sukab?” tanya Si Dali.
“Aku ikut yang lain sajalah,” jawab Sukab agak malu-malu.
Tarmujo dan Markum menyeringai dan tertawa kecil mendengar jawaban Sukab.
“Kau sendiri bagaimana, Dali?” tanya Sukab, Markum, dan Tarmujo berbarengan.
“Aku kan sudah jadi makhluk fiktif sejati,” jawab Si Dali sambil menyeringai penuh arti.
“Ha ha ha...”
Mereka berempat memecahkan tawa.

Langit masih cukup jingga. Bulan sudah mulai memunculkan bulatnya. Di depan sebuah layar komputer, penulis kisah ini pun ikut tertawa.[]

Utomo Priyambodo, mahasiswa Institut Teknologi Bandung, bergiat di unit literasi Aksara Salman ITB.


Ilustrasi dari Internet.

Link terkait:
* https://www.facebook.com/utomo.priyambodo
* https://twitter.com/utomo_pr
* http://aksara.salmanitb.com/

Tuesday, November 09, 2010


Energi Menulis: Dari Mana Datangnya?
---Anwar Holid

Penulis punya pengalaman khas masing-masing yang menyebabkan mereka mampu bertahan untuk menghasilkan karya.

Kita lihat misalnya Jamal berlatar belakang seni rupa; dulu Clara Ng menerbitkan buku sendiri; Veven SP Wardhana terinspirasi fakta sejarah; Anjar sudah "mengandung" kisah dalam novel Beraja sejak 2000; sementara Djenar Maesa Ayu sejak awal kemunculannya konsisten membawa subjek seksualitas dari beragam aspek.

Tujuh tahun lalu aku dengar seorang peserta diskusi bertanya kepada Djenar Maesa Ayu kenapa kebanyakan ceritanya bertema seks. Dia menjawab, "Barangkali karena saya suka seks ya?" Ada kejujuran di sana, dan itu jadi salah satu pokok dalam proses menulis. "Kalau tidak jujur waktu menulis, buat apa karya itu?" dia balik tanya. Karena inti menulis ialah mengungkapkan perasaan secara kreatif, melepaskan gagasan, mencari pengakuan, sejumlah orang berpijak pada sesuatu yang sangat dekat dengan dirinya. Itulah hal yang dapat mereka ungkapkan dengan tepat dan tegas. Penulis harus tahu persis yang dihadapi dan ditulisnya.

Kenapa sejumlah orang memilih menulis fiksi? "Sebab dalam fiksi segala kemungkinan ada," jawab Veven. Ada dunia imajinasi dalam diri manusia atau angan-angan maha luas yang coba mereka isi dengan upaya pencarian makna. Di sana mereka mencari kemungkinan untuk memenuhi kebutuhan manusia akan pelampiasan emosi, mental, maupun spiritual setelah lelah menghadapi alam fisikal yang kering, sukar berkompromi, bahkan kerap dipenuhi kebohongan. Jamal mendapat kenikmatan menulis fiksi karena dia mampu mereka-reka jalan hidup seseorang, menentukan nasib tokoh ciptaannya. Rupanya keinginan berperan bebas sebagai Tuhan (playing God) memotivasi Jamal dalam berkreasi.

Karena ada keinginan bermain-main dengan bahasa, jelas para penulis harus kreatif melakukan sejumlah eksplorasi literer. Perhatikan frasa "matahari malam hari" pada judul Centeng karya Veven. Apa frasa tersebut terkesan janggal atau malah membangkitkan rasa penasaran para pembaca? Clara Ng menjuduli novelnya Tujuh Musim Setahun, dan itu membuat orang terangsang untuk bertanya-tanya: di manakah tempat yang punya tujuh musim dalam setahun? Atau dia ingin menggunakan perlambang untuk mengungkapkan sesuatu secara khusus?

Permainan bahasa menunjukkan bahwa manusia memiliki dinamika dalam komunikasi dan persisten mencari kemungkinan baru. Misal, sebagian pengguna bahasa Indonesia masih merasa asing dengan kata "beraja", padahal sebenarnya bisa ditemukan di berbagai kamus bahasa Indonesia yang otoritatif. Anjar, seorang novelis tinggal di Bandung, dalam hal ini berusaha mengingatkan bahwa kita memiliki kekayaan bahasa luar biasa. Memang, demi menjaga dan mengembangkan bahasa, kita berutang banyak kepada penulis. Merekalah yang secara sinambung membangkitkan lagi kata yang lama dilupakan atau mencoba menciptakan kemungkinan makna dengan inovasi, menempuh cara ungkap berbeda yang sebelumnya di luar imajinasi generasi terdahulu.

Fiksi memiliki logika sendiri. Segila-gilanya imajinasi dalam fiksi, penulis biasanya tetap merujuk pada sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan. Ada alasan masuk akal kenapa sebuah dunia dalam ceritanya bisa berlangsung secara ajaib atau di luar nalar. Kekayaan pengetahuan, kedekatan dengan seseorang, atau subjek yang mereka kuasai, juga latar belakang kehidupan, biasanya kerap dirujuk untuk menjelaskan bahwa sejumlah peristiwa, percakapan, dan kejadian dapat ditelusuri jejak-jejaknya. Dalam novelnya, Clara Ng perlu menulis halaman bibliografi untuk membuktikan dirinya menolak berspekulasi tanpa dasar eksperimen yang pernah dilakukan orang lain, baik itu ilmuwan, sejarahwan, dan kritikus. Jamal melampirkan biografi filsuf Soren Kierkegaard dalam novelnya. Kini ada banyak novel yang ditambahi catatan kaki---baik yang sama-sama fiktif ataupun faktual.

Di luar latar belakang dan subjek karya, para penulis otomatik memberi pelajaran tentang proses dan kesabaran. Menurut pengakuan Clara Ng, total sekitar empat tahun dia habiskan untuk mewujudkan Tujuh Musim Setahun. Sebelum jadi novel, naskah itu awalnya berupa catatan berserak baik di kertas, komputer, juga ingatan. Dia mencoba menyimpan iktikad itu sekuat tenaga, memelihara, menjaga agar tak lenyap, bahkan ketika proses penciptaan terhenti oleh banyak hal. Sujinah, penulis In a Jakarta Prison, tak menyerah menulis meski di penjara tanpa proses pengadilan lebih dari lima belas tahun lamanya karena alasan politik. Dia menjadikan karya sebagai kesaksian atas hidupnya yang getir, keras, penuh perjuangan dan idealisme.

Pada dasarnya upaya menulis sebuah karya merupakan proses berlanjut. Pengorbanan waktu dan energi untuk menyelesaikannya membutuhkan kesabaran luar biasa. Berproses lebih dari dua tahun demi menunggu kelahiran buku tentu belum bisa dihadapi setiap orang dengan mudah. Anjar membuktikan dia berhasil melewati masa sejak awal persemaian hingga memetik buah atas bukunya. Ada sejumlah karya yang baru bisa terbit setelah bertahun-tahun kesulitan menemukan penerbit.

Di awal abad ke-21 para penulis berdesak-desakan muncul ke ranah sastra dan industri perbukuan. Generasi terbaru juga beruntung dapat menikmati kemajuan teknologi dan beragam media ekspresi. Dunia penerbitan tambah dinamik meramaikan khazanah sastra Indonesia. Di luar media cetak umum, banyak penulis melatih kemampuan dan eksperimentasi melalui internet, blog, Facebook, situs pribadi, termasuk Twitter. Energi menulis mereka meluap-luap secara luar biasa, gagasannya kadang-kadang tak tertampung sarana umum, dan eksplorasinya menarik untuk diperhatikan.

Bagi sejumlah orang, energi menulis bisa jadi tak pernah terbayang kapan akan muncul dan menggerakkan proses kreatif. Namun belajar dari banyak penulis, kita tahu proses itu ialah gabungan antara tekad besar, proses menciptakan, dan upaya memenangi pertarungan melawan keragu-raguan.[]

Note: Versi ini merupakan revisi dari yang aku tulis pada Rabu, 28 Mei 2003.

Anwar Holid, penulis buku Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis.

KONTAK: wartax@yahoo.com | http://halamanganjil.blogspot.com

Copyright © 2010 oleh Anwar Holid