Showing posts with label Matabaca. Show all posts
Showing posts with label Matabaca. Show all posts

Friday, May 29, 2009



Menanti Langkah Baru
---Anwar Holid


SAMPAI akhir 2008 ini perkembangan perbukuan Indonesia masih menarik. Kita makin kerap mendengar ada buku laris lebih dari ratusan ribu kopi, berbagai informasi buku, efek Kick Andy, peluncuran dan tanda tangan, talkshow, festival, pameran dan pasar buku, sayembara, juga penghargaan sastra. Belum lagi ada penerbit e-book & buku digital, termasuk publisitas dan gaya hidup perbukuan di berbagai situs. Dengan perkembangan seperti itu, kita boleh tetap optimistik terhadap dunia perbukuan.

Ada juga yang patut terus disemangati. Matabaca memasuki tahun ke-6, tetap bertahan, dan baru-baru ini menyebar polling untuk meningkatkan layanan. Dalam konteks Indonesia, Matabaca mengagumkan dan patut didukung lebih banyak lagi pegiat baik dari industri perbukuan, percetakan, dan media massa. Beberapa penerbit memiliki media internal yang digarap serius. GPU memiliki Bibliophile, Kelompok Agromedia menerbitkan Bukuné, Erlangga dengan Editor's Choice. Rentang isi media ini beragam, mulai dari iklan buku baru, isu terkait subjek sebuah buku, konsultasi, hingga memadukannya dengan pilihan dan gaya hidup. Persamaannya, produk yang dipromosikan mayoritas eksklusif merupakan produk penerbit tersebut. Kondisi ini mencerminkan betapa publikasi media perbukuan Indonesia belum terwadahi media tertentu yang bisa menampung semua secara seimbang.

Kondisi itu ingin diperbaiki antara lain oleh Matabaca, yang terbukti berusaha ada di lintas penerbit dan menjadikan buku sebagai sumber informasi. Lepas upaya itu belum maksimal, tampak kesulitan menggaet iklan dari industri perbukuan dan yang terkait secara lebih luas---misalnya percetakan, distribusi, biro iklan, jasa penyuntingan, alat tulis kantor (stationery) dan seterusnya---toh hingga kini cukup mampu mengangkat isu-isu yang senantiasa bisa membuat peminat buku menoleh dan berkomentar. Mungkin kelemahan paling kentara ialah justru kurangnya layanan kepada penerbit, misal terbatasnya jumlah resensi, tiadanya gambaran pasar yang cukup jelas, juga menangkap trend yang terjadi pada para bookaholic.

Sekilas melihat Publishers Weekly (PW) dan Writer's Digest (WD)---yang fokus pada industri penerbitan dan kepenulisan---kita lihat bahwa selain iklan buku, media ini memuat iklan lowongan kerja di dunia penerbitan, sayembara penulisan, agenda pertemuan dan festival sastra, workshop menulis, distributor (pemborong buku), teknologi percetakan, literary agent, print-on-demand, self publishing, sampai software dan aksesoris menulis. Sebuah keterkaitan yang tampak sukar dikejar oleh media perbukuan Indonesia. Perbukuan kita belum mampu menarik stakeholder berbondong-bondong mendukung media yang mengkhususkan diri di ranah tersebut. Ini menguatkan prasangka ternyata media perbukuan kita belum didukung oleh industrinya.

PW merupakan standar ideal media perbukuan, pada dasarnya juga bukan media bersirkulasi besar. Sampai 2008---136 tahun sejak debutnya---sirkulasi PW kira-kira 25.000 kopi. Pelanggan terbesarnya ialah penerbit (6000), perpustakaan (5500), toko buku (3800), penulis dan pengarang (1600), perpustakaan universitas & sekolah tinggi (1500), media cetak, film, dan umum (950), dan literary agent & agen rights (750). Rubrik andalannya ialah resensi buku, yang bisa mencapai 40 halaman tiap edisi, menghasilkan resensi lebih dari 7000 judul baru per tahun. "Starred Review" PW kerap jadi jaminan bahwa buku tersebut berkualitas, hingga kerap dikutip menjadi blurb maupun endorsement.

Jelas PW memilih lebih melayani dinamika industri, yang dikomandoi penerbit. Ia hendak menyetir selera pembaca. Sebaliknya, media perbukuan kita cenderung melayani dan menyajikan keinginan pembaca umum, namun tampak sulit menyemangati kalangan industri dan pelaku bisnis, akibatnya mereka malas berlangganan maupun berinvestasi, baik lewat iklan maupun promosi.

MEDIA perbukuan yang patut diperhatikan muncul di Internet. Media ini dibangun secara personal maupun kolektif; sebagian masih buruk, namun sebagian lagi sudah baik, di-update teratur, berisi artikel, esai, dan topik menarik sesuai niat pendiriannya. Jumlahnya cukup mencengangkan, sebab cukup mudah ditemukan, terutama karena keterkaitan antarmereka terbina dengan baik. Setiap situs dan blog selalu mencantumkan rekomendasi link luar. Sambung-menyambung seakan tiada henti. Yang paling menonjol dari sini ialah dedikasi para pendirinya yang nyaris tanpa pamrih, semata-mata demi kepuasan batin, memenuhi idealisme, menyebarkan pemikiran, dan memanjakan selera.

Di Internet ini kita menyaksikan book blogger, terdiri dari mereka yang tanpa pamrih mencintai buku, menikmati dan membicarakan dengan semangat, nyaris tanpa pretensi apa pun selain mengedepankan kesenangan dan selera, alih-alih mengkritik secara sok ilmiah. Sejumlah penerbit telah menangkap peran mereka dan memberi akses agar bisa lebih banyak lagi membaca, mengomentari, membicarakan, dan lantas menyebarkan dan merekomendasikan buku kepada kawan lain. Mereka lebih terpikat internet yang interaktif, cepat, spontan, dan langsung, dibandingkan media cetak yang cenderung lambat, serius, dan kurang interaktif.

Namun tulisan mereka kerap merupakan spoiler, hanya bercerita ulang, bahkan salinan sinopsis, alih-alih merupakan pendapat (komentar) yang jernih dan mampu memberi letupan penasaran pada khalayak. Kelemahan lain dari media ini ialah rendahnya standar kepenulisan, abai terhadap EYD dan kesepakatan umum. Lepas dari itu, media ini pantas diperhatian karena zaman memang mendukung, dipenuhi fasilitas berlimpah. Sebagian penulis malas menulis di media cetak yang ribet dan banyak aturan, sementara di Internet mereka bisa bebas menulis, ekspresif, tanpa halangan, langsung, pada teman-teman dekat. Ini sulit tergantikan.

Kelemahan ini lambat ditutup oleh ide yang mampu mengikat pembaca di setiap edisi baru. "Ide berbuku" kurang tumbuh di media perbukuan, sementara Internet dan semua turunannya berhasil terus-menerus menyambungkan pembaca satu ke pihak lain secara simultan dan nyaris tanpa henti. Ide berbuku apa yang kira-kira kurang tergali media perbukuan? Misalnya mengangkat tema "Buku Tahun Ini", "Penulis Paling Berpengaruh," "Cara Canggih Menulis" (bisa membahas gadget, software menulis, blog, dan sejenisnya), "Penulis Berbakat Tahun Ini", "Penerbit Paling Inovatif", "Penulis Legendaris Indonesia," "Buku Abadi Sastra Kita," atau menerawang masa depan perbukuan. Ketika Haidar Bagir, pendiri Mizan, terpilih sebagai "Top Ten The Best CEO 2008" versi SWA---peristiwa itu luput dari perhatian media perbukuan. Padahal itu bisa dijadikan topik cara mengelola penerbitan yang sukses dan memberi kontribusi pada bangsa. Tampak bahwa ide masih berkutat dengan ide berbuku yang masih menggunakan kertas.

KITA tahu Internet telah menyita waktu, ruang, dan energi yang semakin besar dalam kehidupan manusia. Tapi juga sadar Internet makin mengganggu, memecah konsentrasi, menghalangi orang dari upaya meditasi dan pemikiran mendalam. Beberapa media perbukuan semata-mata terbit online, meski produk turunannya berupa cetakan. Media buku konvensional harus melakukan reposisi dan reorientasi. Bila sukses, media bakal bisa bertahan sepuluh tahun ke depan, mengikuti jejak PW, Kirkus Review, dan WD.

Media perbukuan harus mendekatkan diri pada dinamika industri, yang berdampak besar pada perubahan pasar maupun pendekatan bisnis, bukan mendekati para selebriti untuk dikaitkan dengan buku. Mungkin menarik menimbang jalan yang ditempuh PW dan Kirkus Review: mereka jauh lebih banyak mengulas buku yang akan terbit beberapa minggu sebelumnya. Itulah yang akan jadi panduan bagi penerbit, toko buku, pemborong, termasuk perpustakaan. Beranikah Matabaca bereksperimen dengan hal itu? Mari kita tunggu langkah Matabaca selanjutnya.[]

Anwar Holid bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis freelance. Blogger di http://halamanganjil.blogspot.com.

NOTE: Matabaca memuat esai ini pada edisi pamungkas mereka, yaitu pada Desember 2008.

Thursday, December 11, 2008



Bagaimana Menghargai Tulisan Sendiri
---Anwar Holid


Menghargai tulisan sendiri ternyata agak sulit, persis karena baru-baru ini saya membaca pernyataan Ignatius Haryanto di Matabaca: "Mungkinkah meneliti tentang diri sendiri?"

Saya pernah menulis tentang pilihan (ketetapan hati) seseorang yang ingin jadi penulis. Memang mengakui apa jadi penulis itu "takdir" atau "kerja keras" dan latihan disiplin, sulit juga ditentukan. Kriteria saya lebih sederhana dalam menentukan apa sesuatu layak dijalani atau ditinggalkan; misalnya apa orang itu ikhlas atau senang hati atau dia malah mendapat kesulitan (kegagalan) dari pilihan tersebut. Kalau dia ikhlas, jalani---sesulit apa pun konsekuensinya, setidak populer apa pun jalan yang dia pilih. Bila orang rela dan yakin, kemungkinan besar dia bisa senang hati meski sesulit apa pun kondisi faktualnya.

Saya juga sering menyatakan bahwa menulis atau jadi penulis itu sama saja dengan mencangkul atau jadi petani. Jadi penulis itu tidak lebih hebat atau mulia dari jadi direktur atau tukang goreng tahu. Biasa saja. Ini tentu bukan untuk merendahkan, tapi justru ingin menegaskan ada juga jalan lain yang sama mulia dan menarik di dunia ini. Kalau seseorang ditakdirkan jadi tukang becak, tentu itu sama mulianya dengan jadi wartawan. Kalau ada orang yang dapat kesenangan sejati dengan jadi penulis, tentu ada juga tukang sampah yang bahagia dengan pekerjaannya. Jadi kalau ada orang yang dengan jadi penulis malah sengsara atau tertekan dan tidak mendapat kebahagiaan, tentu ada yang salah di sana, dan karena itu harus ditinggalkan atau diperbaiki. Di sini, kita bukan sedang bicara tentang konsekuensi, melainkan lebih pada orang bisa senang dengan pilihannya atau tidak.

Dalam bahasa Inggris ada kata "bliss" yang artinya kira-kira "kebahagiaan sempurna" atau "kenikmatan spiritual." Kalau orang mendapat kenikmatan spiritual atas pilihan yang dia ambil, saya yakin semua akan beres dan persoalan dia dengan dunia dan seluruh isinya "selesai."

Pendapat tersebut membuat saya sulit menjawab pertanyaan mendasar tentang topik ini, ialah bagaimana cara seseorang menghargai tulisan sendiri?

Sebagian orang menulis yang betul-betul ideal, dia inginkan, lepas bahwa tulisan itu bisa dijual atau mendatangkan pendapatan (nafkah) atau tidak. Sebagian orang menulis karena pekerjaannya memang penulis, yaitu kuli tinta (wartawan, jurnalis.) Dia harus menulis walau mungkin subjek tulisan itu di luar yang dia sukai. Jujur, saya sendiri jauh lebih bisa menikmati tulisan yang saya tuangkan di [HALAMAN GANJIL] karena menurut saya itu ditulis dengan kejujuran yang lebih tinggi daripada tulisan yang saya hasilkan (jual) ke media massa. Sering saya terdorong ingin memaki atau menulis sekasar mungkin di [HALAMAN GANJIL], melampiaskan perasaan sedalam mungkin, tapi sejauh ini masih bisa tertahan karena pertimbangan kesopanan dan reputasi atau menimbang konsekuensi buat diri sendiri dan keluarga. Mungkin saya pengecut, tapi di sisi lain saya belajar memahami diri dan menaklukkan perang dalam diri.

Menulis untuk media massa juga menyenangkan karena selain mendatangkan pendapatan, itu melatih menulis dengan standar tertentu yang bisa diterima suatu lembaga. Tapi menulis di media massa seolah-olah melarang orang melampiaskan perasaan sekasar mungkin (jelas!), dan itu membuat saya merasa kurang ekspresif menulis. Penulis harus belajar "memelintir" ungkapan yang bisa mewadahi maksud. Menulis di media massa juga melatih kita disiplin, melakukan riset, mencari kedalaman, menawarkan sesuatu yang memenuhi logika umum kepada pembaca dan orang lain.

Setahu saya, menurut semua penulis, menulis itu 99 % kerja keras dan sisanya bakat. Berdasar pengalaman sendiri, saya juga seperti itu; saya lebih yakin bahwa menulis itu kerja keras yang harus diwujudkan dengan latihan tiada henti, dengan eksplorasi, eksperimen, pengorbanan, dan pemahaman (wawasan), daripada mengandalkan bakat. Kalau kita punya mimpi yang kuat jadi penulis, biasanya selalu ada jalan ke arah sana. Untuk jadi penulis, menurut saya sederhana; orang hanya perlu motif (niat, alasan). Persoalan biasanya baru muncul bila menulis misalnya ternyata gagal dijadikan sandaran hidup atau mata pencaharian, padahal dia merasa itu panggilan jiwanya. Di situ letak penting kesempatan dan kemampuan, termasuk soal disiplin, skala prioritas dan lain-lain yang berhubungan dengan profesionalisme.


Baru-baru ini saya tanya ke Akmal Nasery Basral (wartawan Tempo dan penulis fiksi) tentang cara menyelesaikan proyek dua tulisan dalam sekali waktu. Jawaban dia menurut saya sangat bagus:
---------------------------------------------
ya, godaan seperti itu khas dialami oleh para penulis. karena itu ada sebuah ungkapan yang bilang bahwa writing is a continuing struggle between one self and a blank page. ini sebuah pertempuran yang harus "dimenangkan" oleh sang penulis dari halaman ke halaman, bukan dari ide ke ide.

sebab banyak sekali penulis pemula, atau yang bercita-cita menjadi penulis, mereka punya ide-ide cemerlang, tapi tak cukup punya strategi dan stamina untuk mewujudkannya dalam halaman per halaman, apalagi sampai bertemu dengan halaman terakhir dari idenya itu.

problem kebanyakan penulis sekarang adalah, termasuk saya sendiri, bukan karena tak punya bahan untuk ditulis. melainkan karena terlalu BANYAK yang ingin ditulis, sehingga tidak bisa fokus baik dalam melakukan manajemen waktu apalagi stamina.
---------------------------------------------

Kalau kita merasa tulisan itu jelek, tentu ada kriteria (nilai) kenapa bisa disebut jelek; dan kita tahu ada tulisan yang bagus. Standar saya sekali lagi juga sederhana: kalau sudah puas dengan tulisan itu, menurut saya itu sudah bagus/cukup. Kalau masih ragu, buktikan dengan cek ke teman atau orang yang kita nilai bisa menanggapi dengan pantas. Coba minta tanggapan orang, terlebih-lebih tanggapan orang jujur. Bila menurut dia sudah cukup, menurut saya penulis harus yakin bahwa tulisan itu sudah cukup bagus. Kalau tidak, memang harus mengakui tulisan itu jelek (gagal.)

Bila penulis masih sulit menilai tulisan sendiri, coba minta respons (nilai) ke orang lain, orang dekat, lebih bagus lagi ke kritik. Menurut sejumlah buku motivasi menulis, ada poin menarik yaitu kita harus mau "mengakui tulisan sendiri." Apa pun bentuknya, apa pun hasilnya, apa pun nilainya. Kalau suatu ketika kita sukses menulis dengan baik, akuilah bahwa itu MEMANG tulisan yang baik, meskipun kita sendiri terkejut entah bagaimana caranya pernah punya ide brilian seperti itu; kalau lain kali tulisan kita buruk, kita harus bilang bahwa itu tulisan jelek yang pernah kita hasilkan. Natalie Goldberg bahkan lebih berani: kalau perlu, sesekali menulislah dengan sungguh-sungguh, kemudian buang. Lupakan. Caryn Mirriam-Goldberg dalam Daripada Bete Nulis Aja bahkan bilang begini: pilihlah kalimat terbaik dalam tulisanmu, lantas coretlah. Waaaaah... ini kan mirip konsep "ikhlas" atau melupakan amal kebaikan yang kita lakukan. Jangan pamrih.

Kunci lain ialah semoga kita tetap semangat dan mau terus belajar.

Tampaknya semua penulis yang baik melakukan itu. Penulis pasti belajar pada penulis lain, entah yang lebih senior atau lebih berhasil atau punya keunggulan tertentu. Semua buku menulis mengajarkan hal serupa. Seorang penulis harus belajar sungguh-sungguh tentang menulis, memperbaiki diri, menguasai tata bahasa, meningkatkan pencapaian, dan seterusnya. Itulah profesionalisme dan pengabdian; totalitas. Natalie Goldberg belajar dari Walt Whitman; saya belajar dari banyak orang, dari siapa saja yang memberi pencerahan dan tambahan wawasan. Saya belajar tega menyunting tulisan sendiri dari seorang wartawan. Belajar "analisis isi wacana" dari Farid Gaban dan Ignatius Haryanto. Dari penulis yang lebih disiplin kita belajar cara mendisiplinkan diri untuk menjalani hidup sebagai penulis. Biasanya buku panduan menulis selalu mencontohkan belajar menulis cara penulis lain. Kenapa ini selalu diajarkan? Saya yakin agar kita (penulis yang lebih junior) mau belajar demi mendapat ruh menulis, mengasah ketajaman, sensibilitas, dan seterusnya.

Sebagai penulis, saya juga masih punya banyak sekali kekurangan, kurang produktif dan disiplin, mudah mengeluh dan menyerah, mudah terganggu, kurang teguh. Kemampuan analisis saya juga jelek, sangat sering pilih-pilih, kurang bisa menjelajah topik-topik sulit. Maka setiap tawaran menulis selalu saya jadikan tantangan latihan disiplin diri. Hasilnya kadang-kadang mengecewakan, tapi ada juga yang memuaskan. Menulis Barack Hussein Obama kemarin membuktikan saya kesulitan menjelajahi topik yang pada dasarnya tak saya kuasai, terutama tentang sistem politik dan pemerintahan AS---tapi saya berusaha dan belajar dari seorang sarjana. Saya takut melakukan seperti kata Farid Gaban: jangan sampai kamu menulis sesuatu yang kamu sendiri tak paham. Jangankan pada pembaca (orang lain); HARAM hukumnya penulis menulis sesuatu yang tak dia pahami. Ini tantangan agar penulis betul-betul yakin dengan pekerjaannya; tahu yang dia maksud dalam tulisannya.[]

Anwar Holid, sehari-hari bekerja sebagai penulis, penyunting, dan publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com

TAG

Friday, October 24, 2008




MENEMUKAN CICERO BARU
---Anwar Holid

Sebagian orang tak perlu menunggu remaja atau dewasa untuk menjadi pemimpin negara dan bangsa. Karena garis kekuasaan dan silsilah, sebagian orang bisa menjadi pemimpin sejak kanak-kanak, meskipun kepemimpinan itu hanya merupakan pajangan. Dia boleh tak mengeluarkan keputusan untuk warga negara maupun kelangsungan pemerintahan. Sebagai simbol negeri, pemimpin seperti itu cukup duduk manis dan rajin menyelenggarakan upacara hari raya nasional.

Alexander yang Agung merupakan contoh pemimpin muda yang memungkinkan bisa bertindak maupun melakukan ekspedisi hebat dan memperluas kekuasaan. Sebagai putra mahkota Raja Macedonia, Alexander malas sekadar jadi pengganti Philip II. Dia berambisi melakukan sesuatu yang lebih besar dan revolusioner. Sebagai pemimpin muda, pencapaiannya spektakuler, meski kesuksesan itu agak cacat karena kurang disertai administrasi yang rapi dan loyalitas wilayah taklukan, termasuk dipenuhi permusuhan, konspirasi, dan lumuran darah.

Ketika kekuasaan mampat dan korup, hanya berpusar dalam kelompok tertentu atau tak berdampak bagi mayoritas warga negara, kepemimpinan harus direbut. Bila yang berebut kepemimpinan ternyata cukup banyak, persaingannya ialah bagaimana cara meyakinkan warga negara agar percaya dan memilihnya. Di satu titik, politik merupakan keterwakilan. Kalau orang merasa terwakili oleh seorang calon pemimpin, tentu dia akan memilih calon itu. Kalau tidak, dia akan diabaikan orang, dan orang memilih melanjutkan hidup sendiri, yang boleh jadi apolitis.

Sejarah membuktikan bahwa kepemimpinan merupakan perjalanan panjang dan konsisten. Sebagian pemimpin harus magang pada senior. Dalam kasus yang sulit---seperti terjadi pada Syaikh Yusuf, Gandhi, dan Tan Malaka---seorang pemimpin harus berpindah-pindah dan di setiap persinggahan itu dia tetap mampu menciptakan guncangan maupun bertentangan dengan otoritas setempat.

"Demokrasi itu mirip pengalaman hidup---ia selalu berubah, jenisnya begitu beragam. Kadang-kadang bergolak, dan malah lebih teruji bila mendapat kesulitan," demikian Presiden AS Jimmy Carter pernah berkata.

Pemimpin Muda atau Perubahan?

Fenomena anak muda ingin menjadi calon pemimpin bangsa pada dasarnya merupakan gejala alamiah. Bahkan ada kala pemuda begitu ambisius sampai harus menjadi penguasa lewat kudeta.

Dalam memandang kekuasaan dan sistem sosial, generasi muda memang senantiasa ambisius; sebaliknya, generasi tua senantiasa meragukan kemampuan mereka. Selalu ada pertentangan tentang cara membawa bangsa maupun negara di antara keduanya. Yang muda merasa generasi tua lamban, sulit berubah, pro status quo; sementara yang tua menganggap generasi muda kurang pengalaman, gegabah, bahkan kurang bijak. Di setiap tampuk kepemimpinan, persaingan antara golongan tua dengan para calon penggantinya kerap menimbulkan gesekan yang kadang-kadang mengerikan.

Saat kita menyaksikan iklan politik bahwa beberapa tokoh muda berniat menjadi orang nomor satu Indonesia, pertanyaan pertama yang mungkin muncul ialah: Apa motif mereka ingin menjadi presiden? Semua orang berpendapat bahwa untuk menjadi pemimpin tingkat nasional, orang butuh ujian untuk meyakinkan sampai ke sana. Track record-nya harus jelas.

Farid Gaban, seorang jurnalis, ingin menguji para calon presiden itu dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana namun pelik, seperti: Apa saja jenis ikan yang ada di perairan Indonesia? Berapa ongkos produksi rata-rata nelayan Indonesia?; Apakah Anda akan menutup jalan di Jakarta untuk memudahkan rombongan Anda lewat?

Saya sendiri ingin mengajukan pertanyaan sangsi: Benarkah setiap pemuda dapat diharapkan menjadi pemimpin bangsa jika sudah tiba masanya? Bagaimana sikap seseorang yang layak jadi pemimpin? Bekal apa yang sebaiknya mereka miliki? Apa syarat mutlak bahwa kepemimpinan seseorang pantas dipatuhi?

Publik perlu yakin bahwa mereka memang pantas bersaing. Publik pantas diberi tahu apa yang pernah mereka perbuat untuk kepentingan warga negara. Iklan politik memperlihatkan bahwa kepemimpinan merupakan sejenis penawaran kompetensi personal, bukan pencapaian yang muncul dari komitmen dan pengabdian panjang terhadap warga negara. Jelas sulit meyakinkan mayoritas warga bahwa seorang kandidat pantas dipilih ketika rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan pokok, dia malah mendukung rezim menaikkan harga.

Ketika individu makin mandiri dan gerakan masyarakat sipil menguat, ketergantungan warga negara pada politik boleh dibilang melemah dan hanya kuat di saat-saat tertentu saja. Bahkan kalau mau orang bisa melanjutkan kehidupan nyaris tanpa politik.

Belajar dari Cicero dan Barack Obama



Dalam Imperium (GPU, 2008) karya Robert Harris, politikus bisa belajar dari Cicero (106 SM - 43 SM), orator, pengacara, dan negarawan Roma. Sejak muda dia berambisi bahwa suatu saat nanti harus menjadi pemimpin yang bisa menentukan arah politik demi kebaikan bersama. Berasal dari kalangan kelas menengah makmur namun minus patron pengaruh dan politik, strategi yang dia jalankan untuk meraih posisi puncak merupakan gabungan antara pengabdian pada kepentingan warga negara, kejelian membaca situasi politik, dan keberanian menghadapi risiko paling berbahaya. Dia berlatih habis-habisan agar jadi pembicara publik, jujur menghadapi kepentingan politik, merangkul sebanyak mungkin kawan, dan dengan cermat menghitung pihak yang pro maupun kontra.

Untuk membuktikan bahwa dirinya sungguh-sungguh, dia memperjuangkan nasib orang-orang yang dijahati dan diperlakukan semena-mena oleh gubernur kejam maupun aparat korup. Tawar-menawar politiknya jelas dan posisi kepentingannya terang. Cicero memperjuangkan nasib mereka; sementara orang dan suku yang dia bela memberi suara dan dana. Dalam politik, yang paling utama ialah kepentingan dan integritas. Kejujuran memang penting; namun selama ia gagal mengantarkan pada puncak kekuasaan, kejujuran hanya membuat politikus membosankan.

Dengan prinsipnya, Cicero membela kepentingan rakyat jelata di parlemen, mengamandemen undang-undang yang dinilai timpang, dan terperinci mencatat dukungan maupun kekuatan lawan. Pilihan itu membuat dia dibenci kaum aristokrat yang berpengaruh, kaya raya, dan memegang kekuasaan di banyak pos, nyaris menjadikan dirinya pahlawan kesiangan. Tapi konsistensi keberhasilan pembelaan yang dia tempuh lama-lama menguatkan reputasi dan memopulerkan namanya.

Barack Obama pun begitu. Meski sadar namanya menasional sejak di Konvensi Nasional Partai Demokrat 2004, dia tak buru-buru jumawa menyatakan ingin ikut mencalonkan diri jadi presiden AS. Tarik ulur ke arah sana dimainkan begitu rupa, disiapkan matang, diupayakan oleh tim sukses yang kompak, dan menempuh strategi lain dari kampanye-kampanye yang pernah ditempuh para kandidat sebelumnya. Pada saatnya, pencapaian tim Obama mencengangkan: mereka berhasil mengumpulkan dana sangat besar dan meyakinkan pendukung amat banyak dari semua golongan.

Di tengah persiapan yang begitu meyakinkan pun, sebagian pengamat politik sudah memperingatkan bahwa Obama masih dianggap terlalu hijau untuk maju menjadi presiden; baik karena kurang pengalaman dalam pemerintahan dan patron politik. Mereka menyarankan agar dia maju lagi pada pemilu periode 2012, ketika usianya matang dan pengalaman politiknya bertambah.

Cicero dan Barack Obama memperlihatkan fakta bahwa tekad dan strategi saja masih kurang bisa menjamin seorang politikus memenangi persaingan menjadi pemimpin. Politikus juga harus dengan jelas punya jumlah pendukung yang bisa diandalkan, tim sukses yang solid, dan biaya kampanye yang cukup.

Saya sedang menyaksikan pergeseran bahwa generasi yang bakal memimpin bangsa dan negara ini makin mendekat dari kawan sepantar. Namun, patut kita hati-hati: akankah mereka menjadi pemimpin sejati? Caranya ialah menentukan makna kepemimpinan itu. Jika pemuda mampu merdeka dari patron dan menjadi diri sendiri, pada saatnya mereka akan menjadi tonggak bangsa dan negara. Jangan sampai para pemuda itu malah jadi penguasa korup ketika tua.[]

---ANWAR HOLID, penulis Barack Hussein Obama (Mizania, 2007).

Esai ini awalnya dimuat di Matabaca, Oktober 2008