Thursday, December 04, 2008



Pelajaran dari Sekolah dan Kehidupan
------------------------------------
Oleh ANWAR HOLID


Adenita mengeluarkan novel pertama tentang mahasiswi berhati baja yang bertekad menyelesaikan kuliah, meski keluarganya gagal membiayai, dan karena itu dia bekerja keras membiayai hidup dan terpaksa utang ke sana-sini, sampai ketika lulus, mengantongi utang sebesar 70 juta rupiah.


BANDUNG - 9 Matahari karya Adenita (Grasindo, 352 hal.) merupakan debut novel yang sangat mengesankan dan berpotensi membuat hati pembacanya bergetar. Ini sebuah novel pembentukan jiwa (bildungsroman) yang sangat dewasa, berani, menebalkan rasa tabah dan sikap positif.

Novel ini melontarkan saya kembali ke masa-masa kuliah, bertemu dengan mahasiswa beserta aktivitas dan idealismenya, berusaha membentuk identitas, dan belajar dari kehidupan. Novel ini juga memaksa saya mengingat Akademos (Bagus Takwin), novel sejenis tentang kehidupan kampus, namun dengan aspek yang intelektualisme yang berbeda; juga menguatkan saya pada salah satu ucapan Arvan Pradiansyah: kalau kamu kalah, jangan sampai kamu kehilangan pelajaran.

Saya menamatkannya dengan mata berkali-kali rembes dan hidung meler. Tapi hati saya hangat sekali, dan dalam hati saya terus-menerus berkata: Ini novel yang bagus!

Temui Matari Anas, mahasiswi yang terlalu tua dengan teman-teman seangkatannya, namun punya tekad menakjubkan menjadi sarjana dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, dan orang-orang sekitarnya. Meski keluarganya gagal membiayai kuliah karena terlalu miskin dan secara emosional sedang labil, dia berusaha mandiri, bertahan dengan energi positif yang luar biasa. Keadaan memaksa dia utang ke sana-kemari pada banyak orang, teman-teman, sampai ibu pemilik warung makan di dekat tempat kosnya. Dia belajar pada kehidupan, pada orang-orang yang bisa dijadikan teladan, pertemanan, kesetiaan, dan kasih sayang orang-orang yang mencintainya. Meski pada akhirnya kuliah hingga lulus itu penting, lebih penting lagi ialah integritas, yang ditempa oleh kehidupan dan kedewasaan dalam memandang masalah.

Adenita berhasil menulis novel dengan cukup rapi, dan terutama sekali menggetarkan. Dia menulis dengan alamiah, sederhana, tak neko-neko, dengan kandungan energi positif yang meluap-luap dan emosinya kena banget. Memang masih ada sejumlah salah eja; semoga bisa direvisi bila cetak ulang nanti.



NOVEL ini pantas direkomendasikan pada semua mahasiswa baru, kalangan perguruan tinggi, dan orangtua dengan ekonomi kelas bawah yang punya anak kuliah. Kesulitan dan kepanikan yang dihadapi Matari begitu terasa, termasuk perasaannya menanggung utang dan rasa malu, ketar-ketir menghadapi ujian kuliah dan hidup. Mungkin bagi mahasiswa dan orangtua dari golongan ekonomi kelas mapan, kesulitan itu sulit dibayangkan dan terlalu melankolis; tapi keberanian Matari mengambil risiko dan berhati-hati atas pilihan dan mencoba bersikap, masih mampu membuat orang terkesan oleh karakternya. Bagian yang memperlihatkan kesukaran hidup, misalnya saat Tari kesulitan dapat uang untuk bayaran dan penghidupan, menurut saya mengharukan dan emosinya kena sekali.

Sebagai kritik sosial, novel karya perempuan berusia 27 tahun yang juga aktif di dunia penyiaran dan public speaking ini memperlihatkan betapa pemerintah dan lembaga pendidikan tinggi kurang serius mengurus pentingnya pendidikan bagi kemajuan kualitas manusia. Banyak perguruan tinggi berdiri, tapi kondisi dan kualitasnya mengenaskan, fasilitas buruk, tapi biaya tetap mahal, sedangkan dosen-dosennya malas karena sibuk cari proyek, ternyata antara citra dan kenyataan perguruan tinggi tersebut berbeda jauh sekali. Atau yang paling parah: jurusan dipandang rendah karena dianggap sebagai lahan cari uang alih-alih laboratorium ilmu pengetahuan. Padahal ada banyak sekali kepentingan bermain di sana, dan persis kata penulisnya: bagi sebagian orang, menjadi mahasiswa merupakan pengalaman yang sangat mewah, tidak semua anak muda mengalaminya. Buku ini mengajarkan orang cara merencanakan pendidikan dengan baik.

Satu-satunya sedikit kelemahan, menurut saya ialah detail pembayaran utang yang kurang tergambar dengan baik. Penulis kurang menggarap cerita bagaimana perasaan orang yang memberi utangan kepada Tari ketika utangnya dilunasi atau dicicil, atau ditunda lebih lama lagi karena memang dia sendiri kehabisan uang. Detail bayar utang ini mestinya penting banget karena Tari memang dililit utang dan itulah sumber masalah terbesar dalam hidupnya.

Utang-piutang ini menimbulkan pertanyaan: masak selama pinjam ke banyak orang itu tidak ada yang terbayar atau bisa dicicil salah satunya. Saya mendapat kesan semua utang itu tak ada yang bisa terbayar. Ini merepotkan. Bagaimana perasaan Matari bila bertemu dengan kawan-kawan yang dia utangi? Malu, menghindar terus? Apalagi kalau ditagih? Saat kuliah, siapa sih di antara kita yang tidak punya utang? Hanya para mahasiswa yang berasal dari golongan keluarga sangat mampu, yang biasanya pasti jadi sumber utangan.


KULIAH merupakan masa-masa meneguhkan identitas. Sebagian orang sukses, sebagian orang lulus, lainnya menjadi demonstran atau berhenti di tengah jalan; sebagian orang lagi gagal, baik karena terpaksa ataupun sukarela karena ada pilihan lain. Di perguruan tinggi, mahasiswa juga menjalani sekolah kehidupan yang menakjubkan dan menggetarkan.

Pelajaran terbesar dari novel ini: pantang menyerah, sebab solusi tersedia bagi mereka yang berusaha. Novel ini mungkin bisa mencegah mahasiswa yang tengah dirundung masalah atau putus asa sampai mau memutuskan keluar akan mengurungkan niatnya. Sebuah Totto Chan versi dewasa, dengan guru Matari Anas sendiri.

Untuk kemampuan menggetarkan pembaca dan menyebarkan pikiran positif, saya berani kasih nilai 9 untuk 9 Matahari![] 04/12/08

Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid

Informasi lebih banyak:
http://mataharikumataharimu.multiply.com
http://www.grasindo.co.id

Cari Adenita di Facebook!

Tag: Jangan biarkan selembar saham pikiran positifmu terjual kepada bandit pikiran negatif itu (hal. 182).

No comments: