Monday, November 22, 2010


[Inmemoriam]

Cahaya Lilin yang Menerangi Sekeliling 
--Kenangan Bersama Pak Mula Harahap

Oleh: Bambang Joko Susilo

SAYA pertama kali bertemu Pak Mula sekitar tahun 2000. Waktu itu, seusai mengikuti pelatihan penulisan cerita anak yang diadakan oleh Pusat Perbukuan di Cipayung, Bogor, tahun 1999, saya menghadap Pak Frans M. Parera, Direktur Bank Naskah Gramedia, untuk menyerahkan lima naskah cerita anak. Kebetulan Pak Frans ikut memberi ceramah dalam pelatihan tersebut.

Dua minggu kemudian saya ditelepon Pak Frans. "Bambang, kamu milih ingin jadi pengarang atau mau bekerja?"
Saya langsung menjawab, "Ingin jadi pengarang, Pak!"
"Kalau begitu naskahmu sekarang ada di tangan Pak Mula Harahap. Coba temui dia!"
Lalu Pak Frans memberi alamat kantor Penerbit Komindo Mitra Utama di Jalan Howitzer, Cempaka Putih. Saya langsung menemuinya. Dari kantor itu saya dibawa Pak Mula menuju kantornya yang lain di daerah Rawa Lumbu.

Sesampainya di ruang kerjanya, lelaki bertubuh jangkung dengan ciri rambut putih setengah gondrong, berkumis, dan brewokan itu langsung menyelonjorkan kakinya di atas meja dengan posisi menyilang sementara saya duduk di hadapannya. Saya agak terkejut melihat gayanya itu, tapi saat itu juga saya dibuat tahu, dengan tampilan seperti itu Pak Mula seolah ingin menunjukkan dirinya bahwa ia orang yang bertipe santai dalam menjalani hidup. Ia menyalakan rokok sigaretnya, menghisap dengan gaya santai pula, lalu sambil mendecak-decakkan ujung lidahnya bertanya, "Sejak kapan kau menulis cerita anak-anak?" suaranya ngebas dan berwibawa. 

Saya pun bercerita tentang suka-duka pengalaman saya jadi penulis sambil menunjukkan buku kumpulan cerpen anak, Bebek dari Kakek (Balai Pustaka,1997). Pak Mula tertawa. Ia tertawa karena tiba-tiba teringat puluhan ekor bebek yang dipeliharanya di kandang belakang kantor Penerbit Kesaint Blanck. Saya diajaknya melihat bebek-bebek itu. "Bapak ternak bebek?" saya terheran-heran.

Lelaki yang selalu tampil bersahaja itu bercerita, saat menempati kantor itu ia didatangi seorang penduduk setempat yang menawarkan dua ekor bebek karena butuh uang. Pak Mula membelinya dengan niat menolong dan menaruhnya di kandang belakang. Lama-lama bebek itu menjadi banyak. "Sekarang pusing kepala saya dibuatnya!" katanya. (Belakangan 'ternak' bebeknya ditutup karena bau kotorannya dan suara berisik kwek-kweknya diprotes penduduk kampung yang tinggal di belakang kantornya itu).

Lalu, saya diajaknya kembali ke meja direkturnya. Dari percakapan singkat dengannya akhirnya saya tahu, Pak Mula dulunya juga seorang pengarang cerita anak. Cerpennya pernah dimuat di majalah si Kuncung; ia mengagumi Soekanto SA. Hari itu saya dipinjami beberapa buku karangannya untuk saya baca. Karangan Pak Mula, yang memakai nama Mulauli Haharap dalam setiap bukunya, sangat bagus. Tokohnya lucu dan jenaka, dan kadang nakal. Happy endingnya selalu mengejutkan!

Hari berikutnya, saya disuruh datang untuk menandatangani kontrak buku saya yang akan diterbitkannya. Saya diberi uang panjar satu juta rupiah. Akan tetapi, hingga satu setengah tahun kemudian, buku itu tidak terbit juga. Saya datang mondar-mandir ke kantornya untuk melihat proses editing naskah itu, baik yang ada di kantor Cempaka Putih maupun yang menumpang di Penerbit Kesaint Blanck di Rawa Lumbu. Klimaksnya terjadi tahun 2002, Jakarta dilanda banjir besar. Kantor Pak Mula di Cempaka Putih ikut kebanjiran. Dan lebih celaka lagi, lima naskah cerita anak saya yang sedang dalam proses terbit terkena imbasnya, terendam air.

Setelah banjir reda, dengan sisa-sisa semangat yang ada, saya kembali mendatangi kantornya menanyakan kelanjutan penerbitan buku saya. Pak Mula seperti menyerah. Agaknya ia sedang mengalami kesulitan uang, sehingga tidak jadi menerbitkan naskah saya. Saya pun agak lemas. Lalu ia mengamati keadaan saya, "Hei, kurus sekali kau sekarang?" katanya dengan logat Medan yang kental.
"Ternyata tidak mudah hidup jadi pengarang, pak!" jawab saya.
"Kalau begitu, coba kerjakan Warta IKAPI. Besok ada acara pembukaan Islamic Book Fair di Senayan. Liputlah!" Kemudian Pak Mula memberi saya uang dua ratus ribu.

Itulah awal saya dekat dengan Pak Mula dan awal kembali terjun ke dunia wartawan. Padahal sejak mengikuti pelatihan cerita anak, saya sebetulnya sudah berkomitmen ingin jadi pengarang. Tapi tak apalah, pikir saya. Hitung-hitung ini untuk memperluas pergaulan.

Hampir tiga tahun saya menangani Warta IKAPI sambil menggunakan sela waktu yang ada untuk mengarang. Saya pun sempat diminta menangani Siaran IKAPI Pusat. Setelah mengalami titik jenuh, akhirnya secara baik-baik saya minta izin kepada Pak Mula mengundurkan diri untuk kembali terjun ke dunia mengarang secara total agar bisa menghasilkan karya lebih baik. Sejak itu saya mulai jarang bertemu dengan Pak Mula. Apalagi setelah saya menikah tahun 2008. Waktu saya tersita habis hanya untuk menulis dan menulis demi mengejar kebutuhan hidup, sebab saya tidak punya penghasilan lain selain dari mengarang. Hanya sesekali kami bertemu di pameran buku. Namun komunikasi lewat sms atau telepon tetap berjalan.

Pada Ramadhan 1431 H kemarin, tiba-tiba keinginan saya berjumpa dengan Pak Mula begitu kuat. Setelah lebaran, saya berniat menemuinya. Bahkan saya telah mengepak beberapa buku cerita anak saya yang telah terbit untuk saya hadiahkan kepadanya. Akan tetapi Tuhan ternyata berkehendak lain. Berita itu datangnya begitu mengejutkan bagai petir di siang bolong. Beliau dipanggil ke pangkuan-Nya pada 16 September 2010 secara mendadak terkena serangan jantung. Alangkah sedih hati saya kehilangan orang sebaik beliau.

Bagi saya, perjalanan hidup Pak Mula yang singkat di dunia ini bagai nyala lilin yang menerangi sekeliling. Dirinya rela terbakar dan ikhlas berkorban demi untuk kebaikan dan kemajuan orang lain. Terlepas dari kekurangannya yang ada sebagai manusia, kita tidak bisa memungkiri bahwa jasa beliau sangat besar di dunia perbukuan.

Selamat jalan, Pak Mula. Selamat istirahat dengan tenang di Pangkuan Allah yang Maha Asih lagi Maha Agung. Jasamu takkan kami lupakan. Sejarah dan waktu telah mencatat dan mengukir namamu dengan indah. Selamat jalan, abangku...[]

Bambang Joko Susilo, pengarang, penulis cerita anak, mantan wartawan Warta IKAPI.

Link terkait:
http://mulaharahap.wordpress.com

No comments: