Monday, November 15, 2010
Menjala Keemasan Masa Kanak-Kanak
---Anwar Holid
Baru sekarang aku berkesempatan mengakses sebuah karya Tere-Liye, yaitu Pukat (Penerbit Republika, 2010, 343 hal.), padahal dia sudah menulis selusin karya fiksi dan banyak orang mengaku mengoleksi lebih dari setengah buku-bukunya. Blogger di tatayulia.wordpress.com mengaku: "Kalau ditanya siapa penulis/pengarang novel Indonesia yang paling saya favoritkan saat ini, jawabannya adalah Tere-Liye." Bambang Joko Susilo, penulis yang berdedikasi tinggi di ranah buku kanak-kanak, juga berpendapat positif tentang karya Tere-Liye. Bambang berkomentar: "Tere-Liye menurutku penulis berbakat, hebat, dan produktif. Bahasanya lincah dan lancar. Bukunya banyak yang best seller." Selain pembaca dewasa-umum, mayoritas pembaca karya Tere-Liye ialah anak-anak dan remaja.
Pukat merupakan buku ketiga dari tetralogi Serial Anak-Anak Mamak. Hanya karena munculnya acak, Pukat menjadi buku kedua yang terbit. Volume pertama dari seri ini yang sudah terbit ialah Burlian (2009), meski ia merupakan buku kedua. Kenapa membingungkan begitu? Di diskusi Goodreads.com, Tere-Liye menerangkan, "Serial Anak-Anak Mamak dimulai dari anak-anak cowok dulu, baru cewek, dan tidak urut kecil-besar atau sebaliknya. Bisa mulai dibaca dari mana saja." Tere menjanjikan bahwa dua buku tentang anak perempuan Mamak akan segera beredar, yaitu Eliana dan Amelia.
Dalam diskusi pada Jumat, 12 November 2010 di Masjid Salman ITB, Tere-Liye menyatakan bahwa Serial Anak-Anak Mamak punya ciri khas antara lain tiap judulnya memuat kisah tertentu (spesifik) tentang seorang anak di keluarga itu, bukan merupakan sekuensial, fokus memotret kehidupan anak-anak dan keluarga, serta bernostalgia dengan masa kanak-kanak di kampung---sebab sebagian pembaca kota tak mengalami peristiwa tersebut.
_________________________________________
DETAIL BUKU
Pukat
Penulis: Tere-Liye
Penerbit: Republika, 2010
Tebal: vi + 351 hal.; 205x135x0 mm; softcover
ISBN-13: 9789791102735
Harga: Rp 50.000
_________________________________________
Seluruh keluarga Mamak menjuluki Pukat sebagai si anak pandai dan panjang akal karena rajin mencari tahu jawaban atas segala pertanyaan. Sifat tersebut berbeda dari Burlian yang dianggap si tukang tanya, meski dia dijuluki anak spesial. Karena pandai dan hampir tahu segala rupa, secara alamiah Pukat tumbuh menjadi anak yang bijak dan jujur. Meski begitu ada kala dia juga kurang sabar, enggan mengalah, bahkan bila perlu ngotot demi memegang prinsip yang dianggapnya benar.
Keluarga mereka tinggal di kampung di pulau Sumatera. Kampung itu cukup terpencil, berada di dekat hutan tropik, belum memiliki sarana listrik, namun jalan menuju kota cukup terbuka, dilalui jalur rel kereta api, dan ada stasiun kereta api di sana. Sungai di kampung itu masih jernih, di sanalah anak-anak mandi, saling terjun, dan bermain bola. Meski terbilang sederhana, keluarga Pukat memiliki televisi hitam-putih bertenaga aki untuk para tetangga dan kawan-kawan mereka suka menumpang nonton bersama.
Fokus dalam novel ini ialah ketika Pukat kelas 5 hingga lulus SD. Dalam dua tahun itu dia mengalami sejumlah peristiwa dramatik yang amat berbekas sekaligus membentuk mentalnya menuju masa pertumbuhan hingga dewasa. Kala itu, misalnya, dia bersama Burlian untuk pertama kali diajak ayah naik kereta api mengunjungi kawannya di kota kabupaten. Malang, persis ketika masuk terowongan panjang, kereta mereka dibajak dan para penumpangnya dirampok secara terencana. Setelah saling olok dan bantah-bantahan, Pukat akhirnya bermusuhan amat sengit dengan kawan dekat sekaligus pahlawan permainan bola air mereka, Raju. Bersama Can dan Burlian, dia juga nyaris mati terbakar hidup-hidup ketika ayahnya bersama para tetangga membuka hutan untuk dijadikan ladang. Kampung mereka juga sempat dilanda banjir dan menyengsarakan semua penduduknya.
Di masa kanak-kanak itu Pukat belajar arti kejujuran, kerja keras, rasa tabah, kasih sayang orang tua, persahabatan, berani bertindak, menghargai rezeki, sekalian belajar perbedaan pertumbuhan anak laki-laki dan perempuan, serta betapa panjang dan mengesankan perjalanan segenggam beras sampai akhirnya menjadi nasi yang siap disantap. Sikap positif di masa pembentukan mental yang bisa dikatakan terjaga itu membuat Kak Seto (Seto Mulyadi) memberi endorsement sebagai berikut: "Pukat mengajak kita untuk memahami nilai kejujuran, persahabatan, dan kreativitas yang dikemas dalam sebuah kecerdasan spiritual yang jernih." Karena itu, selain pantas disarankan sebagai bacaan anak-anak dan keluarga, idealnya novel ini dikoleksi perpustakaan sekolah di seluruh Indonesia.
Tere-Liye cukup mengesankan menuturkan kisah Pukat. Drama dan kelakuan khas anak-anak hadir secara proporsional dan segar, tokoh-tokohnya memiliki jiwa dan emosi, begitu pula dengan kejutan maupun denyut masyarakat kampung yang mayoritas penduduknya memeluk Islam. Penulis bertutur dari sudut pandang "aku" sebagai Pukat. Dia mengenang masa-masa pertumbuhan itu dalam perjalanan pulang dua belas jam dari Amsterdam ke Jakarta, ketika dirinya di luar dugaan menemukan jawaban atas teka-teki dari uanya yang seumur hidup jadi pertanyaan besar dalam dirinya dari surat yang dikirim Burlian dari Tokyo. Pertanyaan itu ialah "Apa harta karun paling berharga di kampung ini?" Penemuan itulah yang memberi dia energi untuk mudik menziarahi pusara uanya dan menyatakan dirinya telah menemukan rahasia atas limpahan kasih sayang yang selama ini memberkatinya.
Namun, karena merupakan kisah dari pengalaman orang dewasa yang sudah jadi orang kota, Pukat kini sudah sulit sekali melepaskan diri dari belitan kosakata urban seperti konfirmasi, disiplin, teknis, komunikasi, eksotis, juga ekstase yang jadi terdengar aneh dalam konteks cerita masa kanak-kanak, apalagi settingnya terjadi pada tahun 80-an. Sisi plusnya, novel ini mengandung kekayaan kosakata Indonesia yang khas, seperti lanting, umbut, dan belincong.
Sayang kualitas penyuntingan buku ini terbilang masih buruk. Ada banyak kesalahan di novel ini yang mengganggu pembacaan, terutama dari cara penulisan, penggunaan tanda baca, ejaan, juga inkonsistensi istilah. Kesalahan mendasarnya terlalu banyak. Contoh paling klise antara lain penulisan 'rubah', 'dimana', 'ijin', juga 'takjim.' Kecerobohan ini menunjukkan bahwa pekerjaan rumah bagi industri penerbitan Indonesia masih menumpuk---terutama untuk editor dan penulis. Bagi penulis berpengalaman seperti Tere-Liye, kekurangan ini patut disayangkan.[]
Anwar Holid, penulis buku Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis.
KONTAK: wartax@yahoo.com | http://halamanganjil.blogspot.com
Copyright © 2010 oleh Anwar Holid
Link terkait:
http://darwisdarwis.multiply.com --> blog Tere-Liye
http://www.goodreads.com/author/show/838768.Tere_Liye
Facebook: Darwis Tere-Liye
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment