Friday, October 24, 2008




MENEMUKAN CICERO BARU
---Anwar Holid

Sebagian orang tak perlu menunggu remaja atau dewasa untuk menjadi pemimpin negara dan bangsa. Karena garis kekuasaan dan silsilah, sebagian orang bisa menjadi pemimpin sejak kanak-kanak, meskipun kepemimpinan itu hanya merupakan pajangan. Dia boleh tak mengeluarkan keputusan untuk warga negara maupun kelangsungan pemerintahan. Sebagai simbol negeri, pemimpin seperti itu cukup duduk manis dan rajin menyelenggarakan upacara hari raya nasional.

Alexander yang Agung merupakan contoh pemimpin muda yang memungkinkan bisa bertindak maupun melakukan ekspedisi hebat dan memperluas kekuasaan. Sebagai putra mahkota Raja Macedonia, Alexander malas sekadar jadi pengganti Philip II. Dia berambisi melakukan sesuatu yang lebih besar dan revolusioner. Sebagai pemimpin muda, pencapaiannya spektakuler, meski kesuksesan itu agak cacat karena kurang disertai administrasi yang rapi dan loyalitas wilayah taklukan, termasuk dipenuhi permusuhan, konspirasi, dan lumuran darah.

Ketika kekuasaan mampat dan korup, hanya berpusar dalam kelompok tertentu atau tak berdampak bagi mayoritas warga negara, kepemimpinan harus direbut. Bila yang berebut kepemimpinan ternyata cukup banyak, persaingannya ialah bagaimana cara meyakinkan warga negara agar percaya dan memilihnya. Di satu titik, politik merupakan keterwakilan. Kalau orang merasa terwakili oleh seorang calon pemimpin, tentu dia akan memilih calon itu. Kalau tidak, dia akan diabaikan orang, dan orang memilih melanjutkan hidup sendiri, yang boleh jadi apolitis.

Sejarah membuktikan bahwa kepemimpinan merupakan perjalanan panjang dan konsisten. Sebagian pemimpin harus magang pada senior. Dalam kasus yang sulit---seperti terjadi pada Syaikh Yusuf, Gandhi, dan Tan Malaka---seorang pemimpin harus berpindah-pindah dan di setiap persinggahan itu dia tetap mampu menciptakan guncangan maupun bertentangan dengan otoritas setempat.

"Demokrasi itu mirip pengalaman hidup---ia selalu berubah, jenisnya begitu beragam. Kadang-kadang bergolak, dan malah lebih teruji bila mendapat kesulitan," demikian Presiden AS Jimmy Carter pernah berkata.

Pemimpin Muda atau Perubahan?

Fenomena anak muda ingin menjadi calon pemimpin bangsa pada dasarnya merupakan gejala alamiah. Bahkan ada kala pemuda begitu ambisius sampai harus menjadi penguasa lewat kudeta.

Dalam memandang kekuasaan dan sistem sosial, generasi muda memang senantiasa ambisius; sebaliknya, generasi tua senantiasa meragukan kemampuan mereka. Selalu ada pertentangan tentang cara membawa bangsa maupun negara di antara keduanya. Yang muda merasa generasi tua lamban, sulit berubah, pro status quo; sementara yang tua menganggap generasi muda kurang pengalaman, gegabah, bahkan kurang bijak. Di setiap tampuk kepemimpinan, persaingan antara golongan tua dengan para calon penggantinya kerap menimbulkan gesekan yang kadang-kadang mengerikan.

Saat kita menyaksikan iklan politik bahwa beberapa tokoh muda berniat menjadi orang nomor satu Indonesia, pertanyaan pertama yang mungkin muncul ialah: Apa motif mereka ingin menjadi presiden? Semua orang berpendapat bahwa untuk menjadi pemimpin tingkat nasional, orang butuh ujian untuk meyakinkan sampai ke sana. Track record-nya harus jelas.

Farid Gaban, seorang jurnalis, ingin menguji para calon presiden itu dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana namun pelik, seperti: Apa saja jenis ikan yang ada di perairan Indonesia? Berapa ongkos produksi rata-rata nelayan Indonesia?; Apakah Anda akan menutup jalan di Jakarta untuk memudahkan rombongan Anda lewat?

Saya sendiri ingin mengajukan pertanyaan sangsi: Benarkah setiap pemuda dapat diharapkan menjadi pemimpin bangsa jika sudah tiba masanya? Bagaimana sikap seseorang yang layak jadi pemimpin? Bekal apa yang sebaiknya mereka miliki? Apa syarat mutlak bahwa kepemimpinan seseorang pantas dipatuhi?

Publik perlu yakin bahwa mereka memang pantas bersaing. Publik pantas diberi tahu apa yang pernah mereka perbuat untuk kepentingan warga negara. Iklan politik memperlihatkan bahwa kepemimpinan merupakan sejenis penawaran kompetensi personal, bukan pencapaian yang muncul dari komitmen dan pengabdian panjang terhadap warga negara. Jelas sulit meyakinkan mayoritas warga bahwa seorang kandidat pantas dipilih ketika rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan pokok, dia malah mendukung rezim menaikkan harga.

Ketika individu makin mandiri dan gerakan masyarakat sipil menguat, ketergantungan warga negara pada politik boleh dibilang melemah dan hanya kuat di saat-saat tertentu saja. Bahkan kalau mau orang bisa melanjutkan kehidupan nyaris tanpa politik.

Belajar dari Cicero dan Barack Obama



Dalam Imperium (GPU, 2008) karya Robert Harris, politikus bisa belajar dari Cicero (106 SM - 43 SM), orator, pengacara, dan negarawan Roma. Sejak muda dia berambisi bahwa suatu saat nanti harus menjadi pemimpin yang bisa menentukan arah politik demi kebaikan bersama. Berasal dari kalangan kelas menengah makmur namun minus patron pengaruh dan politik, strategi yang dia jalankan untuk meraih posisi puncak merupakan gabungan antara pengabdian pada kepentingan warga negara, kejelian membaca situasi politik, dan keberanian menghadapi risiko paling berbahaya. Dia berlatih habis-habisan agar jadi pembicara publik, jujur menghadapi kepentingan politik, merangkul sebanyak mungkin kawan, dan dengan cermat menghitung pihak yang pro maupun kontra.

Untuk membuktikan bahwa dirinya sungguh-sungguh, dia memperjuangkan nasib orang-orang yang dijahati dan diperlakukan semena-mena oleh gubernur kejam maupun aparat korup. Tawar-menawar politiknya jelas dan posisi kepentingannya terang. Cicero memperjuangkan nasib mereka; sementara orang dan suku yang dia bela memberi suara dan dana. Dalam politik, yang paling utama ialah kepentingan dan integritas. Kejujuran memang penting; namun selama ia gagal mengantarkan pada puncak kekuasaan, kejujuran hanya membuat politikus membosankan.

Dengan prinsipnya, Cicero membela kepentingan rakyat jelata di parlemen, mengamandemen undang-undang yang dinilai timpang, dan terperinci mencatat dukungan maupun kekuatan lawan. Pilihan itu membuat dia dibenci kaum aristokrat yang berpengaruh, kaya raya, dan memegang kekuasaan di banyak pos, nyaris menjadikan dirinya pahlawan kesiangan. Tapi konsistensi keberhasilan pembelaan yang dia tempuh lama-lama menguatkan reputasi dan memopulerkan namanya.

Barack Obama pun begitu. Meski sadar namanya menasional sejak di Konvensi Nasional Partai Demokrat 2004, dia tak buru-buru jumawa menyatakan ingin ikut mencalonkan diri jadi presiden AS. Tarik ulur ke arah sana dimainkan begitu rupa, disiapkan matang, diupayakan oleh tim sukses yang kompak, dan menempuh strategi lain dari kampanye-kampanye yang pernah ditempuh para kandidat sebelumnya. Pada saatnya, pencapaian tim Obama mencengangkan: mereka berhasil mengumpulkan dana sangat besar dan meyakinkan pendukung amat banyak dari semua golongan.

Di tengah persiapan yang begitu meyakinkan pun, sebagian pengamat politik sudah memperingatkan bahwa Obama masih dianggap terlalu hijau untuk maju menjadi presiden; baik karena kurang pengalaman dalam pemerintahan dan patron politik. Mereka menyarankan agar dia maju lagi pada pemilu periode 2012, ketika usianya matang dan pengalaman politiknya bertambah.

Cicero dan Barack Obama memperlihatkan fakta bahwa tekad dan strategi saja masih kurang bisa menjamin seorang politikus memenangi persaingan menjadi pemimpin. Politikus juga harus dengan jelas punya jumlah pendukung yang bisa diandalkan, tim sukses yang solid, dan biaya kampanye yang cukup.

Saya sedang menyaksikan pergeseran bahwa generasi yang bakal memimpin bangsa dan negara ini makin mendekat dari kawan sepantar. Namun, patut kita hati-hati: akankah mereka menjadi pemimpin sejati? Caranya ialah menentukan makna kepemimpinan itu. Jika pemuda mampu merdeka dari patron dan menjadi diri sendiri, pada saatnya mereka akan menjadi tonggak bangsa dan negara. Jangan sampai para pemuda itu malah jadi penguasa korup ketika tua.[]

---ANWAR HOLID, penulis Barack Hussein Obama (Mizania, 2007).

Esai ini awalnya dimuat di Matabaca, Oktober 2008

3 comments:

ן said...

Hi you have very beautiful blog it's possible to read in my blog:

http://talkback-israel.blogspot.com/

yinon

Heny said...

untuk menjadi pemimpin yang qualified, tidak bisa dilakukan secara instan.....butuh banyak pembelajaran sejak dini. Secara pribadi, saya sendiri mendukung orang muda untuk bisa tampil menjadi pemimpin. dalam hal ini perlu sinergi yang baik antara senior dan yunior, saling menghormati dan saling mengayomi...

http://carakusehat.blogspot.com

Anwar Holid said...

Salam...

Terima kasih atas komentarnya. Nanti begitu ada waktu lebih lapang saya usahakan kunjungi blog Anda.

Salam kenal; semoga bermanfaat.